Penerapan Paradigma Perubahan Sosial-Perubahan Hukum dalam Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Nomor 8 Tahun 2015)

Oleh:
Vivin Najihah (NIM. 1711143084)
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Hukum
per tanggal 08 November 2015




A.  Landasan Teori
Suatu hukum memiliki kedudukan yang bersifat mengikat dan memaksa dalam masyarakat. Sebaliknya, dari masyarakat itu pula sering timbul nilai-nilai dan pemikiran yang mengarah pada pembentukan hukum baru, sehingga menciptakan perubahan sosial. Dengan adanya dua hal pokok ini, dapat dikatakan bahwa antara hukum dan perubahan sosial memiliki hubungan timbal balik (interaksi) yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Interaksi-interaksi tersebut menimbulkan dampak, yang mana dapat dianalisis dengan paradigma sebagai berikut:
1.    Hukum sebagai alat untuk melayani kebutuhan masyarakat
Dalam paradigma ini, hukum bersifat menyesuaikan diri dengan kebutuhan yang ada pada masyarakat. Makna yang terkandung dalam hal ini adalah bahwa hukum akan bergerak cepat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.[1] Nilai-nilai yang berkembang di masyarakat yang tidak diakomodir, maka akan menuntut hukum untuk membuat kebijakan yang dibutuhkan oleh masyarakat tersebut melalui nilai-nilai yang muncul, sehingga hukum menjadi alat untuk mengabdi pada masyarakat. Misalnya mengenai pernikahan sejenis yang terjadi di beberapa negara barat. Dan dengan adanya perubahan sosial dan perubahan hukum ini kemudian akan memicu perubahan pada sistem lain, seperti keadaan politik, hak-hak sipil, HAM, dan sebagainya.

2.    Hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat
Paradigma kedua ini identik dengan pendapat Roscoe Pound bahwa hukum merupakan alat untuk merekayasa masyarakat. Hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini memiliki tujuan untuk menciptakan dan/atau merubah keadaan masyarakat yang diinginkan/dicita-citakan yang berorientasi pada masa depan dengan mengantisipasinya melalui pembentukan hukum pada saat ini. Dan inilah inti dari paradigma hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat.

B.  Gambaran Umum Undang-undang Pilkada (UU No. 8 Tahun 2015)
Dilihat dari sejarahnya, Indonesia menerapkan beberapa sistem pemilihan kepala daerah (disingkat Pilkada) yang berbeda dari waktu ke waktu. Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakilnya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hal ini kemudian berubah setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga kepala daerah dan wakilnya dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pilkada. Kebijakan ini terus mengalami perubahan hingga pada tahun 2014, DPR-RI kembali mengangkat isu krusial terkait pemilihan kepala daerah secara langsung. Sidang Paripurna DPR-RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD.[2] Keputusan ini menyebabkan beberapa pihak kecewa karena dinilai sebagai langkah mundur dalam pembangunan demokrasi di Indonesia.
Undang-undang mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ini terus mengalami ‘penggodokan’ hingga pada masa pemerintahan sekarang, Presiden Joko Widodo. Akhirnya, pada Tanggal 18 Maret 2015, disahkanlah Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang. Dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 ini menghasilkan keputusan bahwa kepala daerah dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dilakukan serentak di seluruh wilayah Indonesia.
Terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dilakukan serentak, dalam penjelasan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 dipaparkan sebagai berikut:
Konsepsi pemungutan suara serentak menuju pemungutan suara serentak secara nasional yang diatur di dalam Perppu perlu disempurnakan mengingat akan terjadi pemotongan periode masa jabatan yang sangat lama dan masa jabatan penjabat menjadi terlalu lama. Undang-undang ini memformulasikan ulang tahapan menuju pemilu serentak nasional tersebut dengan mempertimbangkan pemotongan periode masa jabatan yang tidak terlalu lama dan masa jabatan penjabat yang tidak terlalu lama; kesiapan penyelenggara pemilihan; serta dengan memperhatikan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD secara serentak pada tahun 2019.
Selain hal-hal tersebut, Undang-undang ini juga menyempurnakan beberapa ketentuan teknis lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan Pemilihan.[3]
Melalui adanya pilkada yang dilakukan serentak ini, maka akan menimbulkan beberapa perubahan yang berkaitan dengan hukum yang dibuat maupun perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Dan perubahan tersebut dapat menimbulkan interaksi terhadap bidang-bidang dalam masyarakat (sosial) maupun pada hukum itu sendiri.
Dari sini pula dapat diketahui bahwa meningkatnya kesadarn masyarakat akan hokum dapat memicu terjadinya perubahan social. Melalui peningkatan kesadaran hukum ini, maka akan timbul suatu pemahaman dalam benak masyarakat bahwa negara Indonesia yang pada dasarnya adalah negara demokrasi, tidak seharusnya menyerahkan pemilihan kepala daerahnya DPRD. Hal ini bisa dilihat dari sejarah pilkada yang telah disebutkan di atas, serta bagaimana protes masyarakat saat terdapat wacana bahwa pilkada akan diserahkan kembali ke tangan DPRD. Selain mempengaruhi paradigma masyarakat terhadap hukum, dengan adanya persoalan ini maka akan menimbulkan atau memicu perubahan pada diri hukum itu sendiri. Terbukti dengan bagaimana kuatnya pengaruh masyarakat yang merasa hak pilihnya direnggut apabila pilkada diserahkan pada DPRD kembali. Dan untuk merespon dan menampung aspirasi rakyat ini, maka pada akhirnya dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 8 tahun 2015, yang mana Pemilihan Kepala Daerah kembali berada di tangan rakyat Indonesia.

C.  Analisis Penerapan Paradigma Perubahan Sosial-Perubahan Hukum dalam Undang-undang Pilkada (UU No. 8 Tahun 2015)
1.    Hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat
Penyusunan Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 adalah produk atau hasil kajian para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperbaiki pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dengan diadakannya Pilkada serentak yang dipayungi oleh Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 ini diharapkan dapat menekan atau meminimalisir anggaran pengeluaran negara, sehingga lebih efektif dan efisien. Selama ini pilkada untuk kabupaten/kota membutuhkan dana Rp 25 milyar, sedangkan untuk pilkada provinsi Rp 100 milyar. Jadi, untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan kurang lebih Rp 17 triliun. Kalau dilakukan serentak diperlukan tidak lebih dari Rp 10 triliun.[4] Sehingga dapat menghemat sekian persen dari APBN.
Pemerintah pun berharap, melalui pilkada serentak ini ruang politik dinasti akan makin sempit. Karena dalam praktiknya, pilkada yang dilakukan dengan mandiri oleh tiap wilayah dengan waktu yang berbeda menyebabkan kerabat penguasa lokal dapat mencalonkan diri di daerah mana saja yang sedang menggelar pilkada. Mengingat bahwa calon kepala daerah tidak diharuskan berdomisili di daerah yang bersangkutan. Maka melalui pilkada serentak ini didapatkan calon pemimpin daerah yang jujur, bersih, dan bekerja keras untuk rakyat, sehingga akan diperoleh kompetisi yang sehat. Dengan kompetisi yang sehat, maka akan terpilih pemimpin daerah yang benar-benar cakap dan diharapkan mampu membawa daerahnya mengarah pada kemajuan dan perkembangan, sehingga hal ini berdampak positif pada rakyatnya yang akan hidup makmur dan sejahtera.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka paradigma “hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat” berlaku dalam kasus ini. Dapat diketahui bahwa dalam hal ini pemerintah melalui hukum yang dibuat, yakni Undang-undang Nomor 8 tahun 2015, menempatkan hukum sebagai alat untuk merekayasa masyarakat. Hal ini tercermin dari sikap pemerintah dengan memutuskan pelaksanaan pilkada untuk dilakukan serentak pada tanggal 9 Desember 2015 mendatang. Dalam hal ini pemerintah menginginkan adanya perbaikan kondisi pemerintahan daerah yang sebelumnya dipenuhi oleh skandal dan kasus personal kepala daerahnya, agar ke depannya hal ini tidak terjadi lagi atau minimal dapat mengurangi. Begitupun halnya dengan harapan pemerintah untuk mencegah adanya dinasti politik melalui pilkada serentak sebagaimana disebutkan di atas. Dengan adanya pencegahan timbulnya dinasti politik, hal ini mengindiksikan bahwa hukum (UU No. 8 tahun 2015) diciptakan untuk mengantisipasi persoalan-persoalan yang mungkin terjadi di masa mendatang. Di samping itu, dengan adanya pilkada serentak ini pemerintah, khususnya DPR berusaha memangkas anggaran yang biasanya digunakan untuk pilkada mandiri (dengan menyerahkan kewenangannya pada masing-masing daerah), sehingga dana yang biasanya mencapai puluhan triliunan rupiah itu dapat dihemat dan dapat dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat.
Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 ini merupakan salah satu cara pemerintah menyikapi perubahan sosial yang ada di masyarakat, terutama untuk perubahan yang mengarah pada persoalan yang terjadi di masa depan. Melalui undang-undang ini pula, pemerintah berusaha melakukan revolusi terhadap birokrasi yang ada di daerah, di mana sebelumnya atau bahkan hingga sekarang banyak kepala daerah yang terlibat masalah karena penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan, seperti terjerat kasus korupsi dan gratifikasi, yang diakibatkan oleh Pemilihan Kepala Daerah yang menghasilkan pemimpin yang tidak cakap dan lemah terhadap tekanan dan godaan kekuasaan.
2.    Hukum sebagai alat untuk melayani kebutuhan masyarakat
Aktualisasi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak semata-mata mudah dilakukan. Banyak persoalan yang timbul menjelang pelaksanaan pilkada, sehingga hal ini menghambat jalannya pilkada itu sendiri. Salah satu dari persoalan tersebut adalah mekanisme pilkada serentak yang mensyaratkan minimal ada dua pasangan calon yang bertarung di tiap daerah. Hal ini sesuai dengan pasal 51 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 yang berbunyi:
“Berdasarkan Berita Acara Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU Provinsi menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur dengan Keputusan KPU Provinsi.”[5]
Serta pasal 52 ayat (2) yang berbunyi:
“Berdasarkan Berita Acara Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU Kabupaten/Kota menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dengan Keputusan KPU Kabupaten/Kota.”[6]
Namun nyatanya beberapa daerah hanya mengusung calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah yang akan dilangsungkan, di antaranya yakni Kabupaten Asahan (Sumatera Utara), Kabupaten Serang (Banten), Kabupaten Blitar, Pacitan dan Kota Surabaya (Jawa Timur), serta beberapa daerah lainnya. Apabila tidak segera diatasi, hal ini akan berimbas pada penundaan pelaksanaan pilkada hingga tahun 2017. Hal ini kemudian diperparah dengan tidak adanya calon pendaftar tambahan yang diajukan oleh partai politik untuk manyaingi calon tunggal tersebut. Dengan adanya penundaan pilkada berarti bahwa mulai dari usainya masa jabatan kepala daerah saat ini hingga tahun 2017, daerah tersebut hanya dipimpin oleh seorang kepala daerah yang hanya berstatus sebagai pelaksana tugas (Plt) yang tidak bisa mengambil kebijakan strategis, sehingga akan memperlambat jalannya pembangunan daerah tersebut.
Hingga akhirnya, mereka yang merasa hak konstitusional sebagai pemilih dirugikan jika pemilihan kepala daerah serentak ditunda hingga 2017, mengajukan permohonan uji materi pasal mengenai syarat calon tunggal dalam pilkada. Di antara pemohon tersebut adalah Effendi Gazali (pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia) dan Yayan Sakti Suryadanu yang terdaftar sebagai pemohon Nomor 100/PUU-XIII/2015. Mereka mengajukan uji materi pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), pasal 51 ayat (2), pasal 52 ayat (2), pasal 54 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-undang Nomor 8 tahun 2015. Ketentuan larangan calon tunggal ini juga digugat oleh pemohon Nomor 95/PUU-XIII/2015 (Apizaldi, Andri Siswanto, Alex Andreas, dkk) dan pemohon Nomor 96/PUU-XIII/2015 (Whisnu Sakti Buana dan H. Syaifuddin Zuhri).[7] Dan sidang di gedung Mahkamah Konstitusi pada tanggal 29 September 2015 siang itu menghasilkan putusan bahwa MK mengabulkan permohonan pemohon terkait dengan calon tunggal pilkada. Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menilai bahwa undang-undang mengamanatkan pilkada sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung dan demokratis. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah harus menjamin terwujudnya kekuasaan tertinggi di tangan rakyat.[8]
Persoalan lain yang terjadi dalam pilkada yakni adanya pemilih yang namanya tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPS). Ini merupakan masalah lama yang sudah muncul sejak pilkada dilaksanakan untuk pertama kalinya. Dan hal ini menimbulkan tanda tanya besar di benak mereka. Apakah dengan sistem demokrasi pun mereka harus terdiskriminasi? Apakah mereka tidak memiliki hak untuk memilih? Hingga kemudian hal ini menimbulkan protes dari masyarakat. Dan untuk mengakomodirnya, maka DPR terus memperbaiki undang-undang tentang pilkada hingga yang terakhir ini (UU No. 8 tahun 2015), pada pasal 57 ayat (2) mencantumkan ketentuan tersebut.
“Dalam hal Warga negara Indonesia tidak terdaftar sebagai Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pada saat pemungutan suara menunjukkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik, kartu keluarga, paspor, dan/atau identitas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”[9]
Dan juga pasal 59 ayat (2):
“Penduduk yang mempunyai hak pilih dan belum terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap dapat mendaftarkan diri sebagai Pemilih kepada PPS untuk dicatat dalam Daftar pemilih Tetap Tambahan.”[10]
Dari penjelasan di atas, maka paradigma “hukum sebagai alat untuk mengabdi pada kebutuhan masyarakat” dapat diterapkan di sini. Terbukti dengan MK yang mengabulkan permohonan uji materi terhadap beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 terkait dengan calon tunggal dalam pilkada, serta pada pemilih yang tidak terdaftar. Ini merupakan salah satu nilai yang muncul dalam masyarakat yang memaksa hukum untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan sosial yang ada. Dan karena perubahan ini, misal pada caon tunggal, maka pada sistem atau tata cara pemilihan pilkada pun ikut berubah. Misalnya dengan tata cara pilkada di Kabupaten Blitar yang hanya mengusung calon tunggal. pemilihan yang pada umumnya dilakukan dengan mencentang atau mencoblos salah satu calon, maka karena hal ini berubah menjadi pilihan “setuju” atau “tidak setuju” terhadap calon tunggal tersebut. Sehingga hal ini mengindikasikan bahwa hukum sebagai alat untuk mengabdi pada perubahan sosial (masyarakat).

D.  Pasal UU No. 8 tahun 2015 yang Tidak Relevan
Dalam penyusunan undang-undang, tentunya memiliki beberapa dampak yang tidak bisa terlepas dari kenyataan. Yakni beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 yang nyatanya tidak sesuai dengan apa yang ada di lapangan, di antaranya adalah sebagai berikut:
a.    Pasal 7 huruf g
“Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih.”[11]
Pasal ini menjelaskan bahwa calon kepala daerah tidak perbah terlibat kasus pidana sebagaimana disebutkan di atas. Namun dalam kenyataannya, masih banyak dari mereka yang berstatus tersangka (TSK) tetapi dengan percaya dirinya masih mencalonkan diri sebagai kepala daerah dengan dalih bahwa pasal tersebut hanya mencantumkan status “terpidana” dan berpendapat berarti mereka yang berstatus “tersangka” boleh maju dalam pilkada. Hal ini kemudian diperparah dengan DPR dan KPU yang sepakat menyetujui bahwa status tersangka tidak menghalangi pencalonan kepala daerah yang beralasan bahwa status tersangka yang disandang oleh calon kepala daerah belum memiliki putusan berkekuatan hukum tetap dari pihak pengadilan dan UU No. 8 tahun 2015 tidak mengakomodir status tersangka ini, sehingga si calon tetap bisa maju dalam pilkada.
b.    Pasal 64 ayat (3)
“Penyampaian materi kampanye dilakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif.”[12]
Dalam pasal di atas, secara eksplisit telah dijelaskan tentang penyampaian materi kampanye. Akan tetapi keadaan lapang membuktikan bahwa kebanyakan calon kepala daerah justru menyampaikan kampanyenya dengan menggelar panggung-panggung hiburan dan mendatangkan artis atau penyanyi yang berpakaian senonoh. Apalagi banyak masyarakat yang ikut berkampanye dengan membawa anak-anak mereka yang masih di bawah umur. Apakah ini bisa dikatakan bersifat edukatif?
c.    Pasal 69 huruf j
Dalam kampanye dilarang:
“Melakukan pawai yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya.”[13]
Salah satu larangan kampanye adalah melakukan pawai dengan berjalan kaki atau dengan kendaraan di jalan raya. Sebagaimana penerapan Pasal 64 ayat (3) di atas, ini merupakan salah satu dari sekian masalah yang ditimbulkan akibat adanya pilkada. Memang sungguh patut dipertanyakan bagi para calon kepala daerah, apakah mereka benar-benar membaca pasal ini ataukah tidak. Atau justru mereka menafsirkan bahwa ini bukan larangan, melainkan sebuah anjuran? Dan memang sepetinya karena lemahnya sanksi atas pelanggaran ini yang mengakibatkan pawai di jalan raya justru menjadi sebuah tradisi umum di masyarakat.
Dari beberapa poin yang disebutkan di atas, masih banyak lagi pasal=pasal justru kontradiktif dengan kenyataan yang ada. Seperti halnya politik uang, dan sebagainya, yang sampai saat ini penanganannya belum juga melalui titik temu.

E.  Daftar Pustaka
Ni’mah, Zulfatun. 2012. Sosiologi Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Teras.
Gabrillin, Abba. 2015. ”MK Putuskan Calon Tunggal Tetap Mengikuti Pilkada Serentak”, Kompas.com, 29 September 2015, diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2015/09/29/MK.Putuskan.Calon.Tunggal.Tetap.Mengikuti.Pilkada.Serentak pada tanggal 06 November 2015 pukul 11.09 WIB.
____. “Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia”, diakses dari http://www.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_kepala_daerah_di_Indonesia pada tanggal 06 November 2015 pukul 11.22 WIB.
Kodri, Imam. 2015. “Pilkada Serentak Berkah atau Ancaman?” Kompasiana.com, 26 Juli 2015, diakses dari http://www.kompasiana.com/imamkodrimirkasan/pilkada-serentak-berkah-atau-ancaman pada tanggal 07 November 2015 pukul 19.41 WIB.
Maharani, Esthi. 2015. “Effendi Gazali Gugat Larangan Calon Tunggal Pilkada ke MK”, Republika, 19 Agustus 2015, diakses dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/08/19/ntbgiv335-effendi-gazali-gugat-larangan-calon-tunggal-pilkada-ke-mk pada tanggal 07 November 2015 pukul 21. 56 WIB.
“Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015”, diakses dari http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/1627.pdf pada tanggal 04 November 2015 pukul 14.48 WIB.


[1] Zulfatun Ni’mah, Sosiologi Hukum: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Teras, 2012), cet.1, hlm. 95-96.
[2] Anonim, “Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia”, diakses dari http://www.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_kepala_daerah_di_Indonesia pada tanggal 06 November 2015 pukul 11.22 WIB.
[3] “Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015”, diakses dari http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/1627.pdf pada tanggal 04 November 2015 pukul 14.48 WIB.
[4] Imam Kodri, “Pilkada Serentak Berkah atau Ancaman?” Kompasiana.com, 26 Juli 2015, diakses dari http://www.kompasiana.com/imamkodrimirkasan/pilkada-serentak-berkah-atau-ancaman pada tanggal 07 November 2015 pukul 19.41 WIB.
[5] “Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015”, diakses dari http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/1627.pdf pada tanggal 04 November 2015 pukul 14.48 WIB.
[6] Ibid.
[7] Esthi Maharani, “Effendi Gazali Gugat Larangan Calon Tunggal Pilkada ke MK”, Republika, 19 Agustus 2015, diakses dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/08/19/ntbgiv335-effendi-gazali-gugat-larangan-calon-tunggal-pilkada-ke-mk pada tanggal 07 November 2015 pukul 21. 56 WIB.
[8] Abba Gabrillin, ”MK Putuskan Calon Tunggal Tetap Mengikuti Pilkada Serentak”, Kompas.com, 29 September 2015, diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2015/09/29/MK.Putuskan.Calon.Tunggal.Tetap.Mengikuti.Pilkada.Serentak pada tanggal 06 November 2015 pukul 11.09 WIB.
[9] “Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015”, diakses dari http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/1627.pdf pada tanggal 04 November 2015 pukul 14.48 WIB.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.

Komentar

  1. Sangat membantu artikelnya ini mbk pipin :D
    Cuma mampir :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau perlu mampirnya ndak cuma di sini, di rumah juga mbak... XD

      Hapus
  2. Assalamualaikum
    Terimakasih artikelnya sangat membantu
    Akan tetapi saya kurang setuju dengan penundaan berlangsungnya pilkada yang dikarenakan dengan adanya calon tunggal, pemerintah memberlangsungkan pasal tantang itu mempunyai maksud yang bagaimana apa kah memiliki dampak yang fatal dalam kepemimpinan nantinya. Kalau menurut saya biarpun calon tunggal harus tetap dilangsungkan kalau sudah mencapai target dilaksanakanna pilkada, kalau tidak ada calon lain yang mendaftarkan berarti tidak ada yang mau untuk menjadi kepala daerah. Dan apabila nanti tidak segera dilaksanakan maka akan terjadi kekosongan pemimpin dalam suatu wilayah itu meskipun ada kepala daerah sementara akan teapi tiddak mempunyai prinsip yang kuat dalam menentukan kebijakan, lebih baik dihapuskan saja undang undang penundaan pilkada dengan adanya calon tunggal,,,
    Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas tanggapannya, semoga postingan ini bermanfaat... :)

      Hapus
  3. artikelnya cukup bagus dan dapat menambah wawasan.
    dalam artikel ini juga dijelaskan secara rinci,. semoga bermanfaat.
    terimakasih

    BalasHapus
  4. Assalamualaikum wr.wb
    Saya setuju denan pendapat anda terkait tidak relevan nya UU no. 8 tahun 2015 pada pasal 7 huruf g bahwa harusnya tidak hanya yang berstatus terpidana saja yang dilarang mencalonkan diri dalam pilkada namun status tersangkapun harusnya dilarang untuk mencalonkan diri dalam pilkada, harusnya KPU harus lebih selektif dan cermat menanggapi hal ini.
    Terimakasiih

    BalasHapus
  5. Balasan
    1. saya IBU KARMILA posisi sekarang di malaysia
      bekerja sebagai ibu rumah tangga gaji tidak seberapa
      setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
      sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
      sempat saya putus asah dan secara kebetulan
      saya buka FB ada seseorng berkomentar
      tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
      melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
      karna di malaysia ada pemasangan
      jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
      saya minta angka sama AKI NAWE
      angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
      terima kasih banyak AKI
      kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
      rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
      bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
      terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
      jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259 tak ada salahnya anda coba
      karna prediksi AKI tidak perna meleset
      saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUMD DI KABUPATEN TULUNGAGUNG

PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA INDONESIA

KONTRAK BAKU (STANDARD CONTRACT)