PERANCANGAN KONTRAK (Contract Drafting)


Sekilas apabila kita mendengar kata kontrak, kita akan langsung berpikir bahwa yang dimaksud dengan kontrak adalah suatu perjanjian tertulis. Artinya, kontrak sudah dianggap sebagai suatu pengertian yang lebih sempit dari perjanjian. Kesan ini tidaklah salah mengingat penekanan kontrak selalu dianggap sebagai medianya suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis.
Kontrak merupakan salah satu bagian penting dari Hukum Perdata yang mengalami perkembangan dalam rangka memberikan kepastian hukum pada bidang ekonomi dan stabilitas nasional, baik bagi kegiatan usaha orang-perorangan maupun badan seperti pemerintah, swasta dan koperasi. Esensi kontrak adalah sekumpulan janji yang dapat dipaksakan pelaksanaannya.
Sebagai sekumpulan janji yang wajib ditunaikan, maka suatu kontrak akan memiliki kekuatan yang lebih apabila diwujudkan dalam bentuk tulisan atau biasa disebut sebagai kontrak tertulis. Penyusunan suatu kontrak (tertulis) tidak semudah menulis di atas kertas. Karena suatu kontrak yang disusun atau dirancang harus memenuhi unsur-unsur dan melewati berbagai tahapan.


A.  Istilah dan Pengertian Perancangan Kontrak
Istilah perancangan kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract drafting. Perancangan adalah proses, cara, atau perbuatan merancang. Sedangkan kontrak adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum hak dan kewajiban. Jadi, perancangan kontrak merupakan proses atau cara merancang kontrak.
Merancang kontrak adalah mengatur dan merencanakan struktur, anatomi, dan substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Struktur kontrak adalah susunan dari kontrak yang akan dibuat atau dirancang oleh para pihak. Anatomi kontrak adalah berkaitan dengan letak dan hubungan antara bagian-bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Substansi kontrak merupakan isi yang akan dituangkan dalam kontrak yang akan dirancang oleh para pihak. Substansi kontrak ada yang dinegosiasi oleh para pihak dan ada yang telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak. Kontrak semacam ini disebut dengan kontrak baku (standard contract).[1]


B.  Asas-asas Hukum dalam Perancangan Kontrak
Dalam Buku III KUHPerdata dikenal lima asas hukum, yaitu asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), asas iktikad baik, dan asas kepribadian. Namun dari kelima asas tersebut yang berkaitan erat dengan perancangan kontrak hanyalah asas kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum).
1.    Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak diatur dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: ”Semua perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas kebebasan berkontrak adalah suatu kontrak yang memberikan kebebasan para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat perjanjian; (2) mengadakan perjanjian dengan siapapun; (3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; dan (4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.[2]
2.    Asas Pacta Sunt Servanda
Asas Pacta Sunt Servanda disebut juga kebebasan kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat dari suatu perjanjian. Asas pacta sunt servanda menggariskan bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, sehingga mereka tidak berhak melakukan intervansi terhadap substansi kontrak tersebut. Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai undang-undang.”


C.  Sumber-sumber Perancangan Kontrak
Sumber hukum dari perancangan kontrak yang berasal dari undang-undang adalah sumber hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah atas persetujuan DPR, di antaranya:
1.    KUHPerdata (BW)
a.    Buku III BW tentang Perikatan, khususnya Pasal 1338 ayat (1).
b.    Buku IV KUHPerdata tentang pembuktian dan daluarsa, khususnya dari Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1894 yang berkaitan dengan pembuktian dan tulisan.
2.    Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999, yaitu Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 22.
3.    Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 sampai dengan Pasal 17 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1986 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Serta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.
4.  Pasal 5 sampai dengan Pasal 6 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
5.    Pasal 38 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
6.    Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Selain undang-undang yang disebutkan di atas, terdapat pula sumber hukum perancangan kontrak lainnya, seperti traktrat dan yurisprudensi. Traktat adalah suatu perjanjian yang dibuat antara dua negara atau lebih dalam bidang keperdataan, sedangkan yurisprudensi merupakan produk yudikatif yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang berperkara, dalam hal ini terutama mengenai pembatalan kontrak.


D.  Prinsip-prinsip dalam Perancangan Kontrak
Setiap perancangan kontrak, baik itu kontrak yang terdapat dalam KUHPerdata maupun kontrak yang hidup dan berkembang dalam masyarakat tentunya harus memperhatikan prinsip-prinsip di dalam merancang kontrak. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip dalam perancangan kontrak adalah dasar atau asas yang harus diperhatikan dalam merancang sebuah kontrak. Erman Rajaguguk mengemukakan ada sepuluh prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam kontrak-kontrak yang lazim digunakan di Indonesia dan patut menjadi perhatian perancang kontrak dagang internasional.[3] Kesepuluh prinsip tersebut meliputi:
1.    Penggunaan istilah,
2.    Prinsip kebebasan berkontrak,
3.    Prinsip penawaran dan penerimaan,
4.    Iktikad baik,
5.    Peralihan risiko,
6.    Ganti kerugian,
7.    Keadaan darurat,
8.    Alasan pemutusan,
9.    Pilihan hukum, dan
10.     Penyelesaian sengketa.
Di samping itu, Peter Mahmud mengemukakan dua prinsip yang harus diperhatikan dalam mempersiapkan kontrak, yaitu beginselen der contractsvrijheid atau party autonomy dan pacta sunt servanda. Beginselen der contractsvrijheid atau party autonomy, yaitu para pihak bebas untuk memperjanjikan apa yang mereka inginkan, dengan syarat tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Langkah pertama yang mesti dilakukan oleh para pihak untuk menghindari ketidakjelasan maksud para pihak ialah dengan menjelaskan sejelas-jelasnya kepada mereka yang terlibat dan bertugas di dalam melakukan transaksi. Sementara itu, kewajiban pertama perancang kontrak adalah mengomunikasikan kepada kliennya apakah yang telah dirumuskannya tersebut sudah sesuai dengan keinginan kliennya.[4]


E.  Faktor-faktor yang Harus Diperhatikan dalam Perancangan Kontrak
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pada dasarnya kontrak yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang yang membuatnya. Oleh karena itu, untuk merancang suatu kontrak diperlukan ketelitian dan kecermatan dari para pihak, baik pihak kreditur maupun debitur, pihak investor maupun pihak yang bersangkutan, perancang kontrak maupun notaris.
Namun dalam kenyataannya, dalam pembuatan kontrak tidak ditentukan format tertentu karena dalam undang-undang tidak ada yang mengaturnya secara tegas. Kontrak yang dibuat secara tertulis yang memang telah diperintahkan berdasarkan undang-undang dengan ancaman bahwa kontrak tersebut tidak mengikat jika tidak dibuat secara tertulis, atau biasa disebut dengan perjanjian formal, biasanya sudah ada format tertentu yang telah disiapkan oleh notaris kalau kontrak tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Tetapi perjanjian tersebut bukan merupakan perjanjian formal, dalam arti tidak diwajibkan oleh undang-undang untuk dibuat secara tertulis, kontrak semacam inilah yang biasanya dirundingkan secara langsung oleh para pihak. Namun ada pula yang dibuat dalam bentuk perjanjian kontrak atau kontrak standar.[5]
Karena tidak ada ketentuan undang-undang yang mengatur tentang format kontrak maka dalam membuat kontrak, hal yang paling penting yang harus diperhatikan oleh para pihak adalah syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, yang pada intinya mengatur tentang:
1.    Kesepakatan para pihak,
2.    Kecakapan (termasuk juga kewenangan) para pihak;
3.    Hal atau objek tertentu; dan
4.    Kausa atau sebab yang halal.
Selain syarat sahnya perjanjian, hal yang penting yang harus diperhatikan oleh para pihak adalah unsur-unsur perjanjian, yakni unsur esensialia, unsur aksidentalia, dan unsur naturalia.
§    Unsur esensialia; dalam perjanjian ini sangat terkait dengan syarat hal tertentu dalam perjanjian, karena unsur esensialia merupakan unsur pokok yang harus ada dalam suatu perjanjian. Misalnya unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah adanya barang yang sudah ditentukan atau dapat ditentukan dan adanya harga barang. Sedangkan klausul-klausul lainnya yang bukan merupakan hal pokok dalam kontrak itulah yang disebut unsur aksidentalia.
§  Unsur aksidentalia; biasanya baru akan ada jika diperjanjikan oleh para pihak, termasuk di dalamnya cara pembayaran, tempat pembayaran, tempat dan cara penyerahan, dan lain-lain. Apabila tidak dicantumkan oleh para pihak, pengaturannya diatur dalam undang-undang yang biasa disebut unsur naturalia.
§   Unsur naturalia; merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam perjanjian, dalam arti apabila para pihak tidak mengaturnya, maka pengaturannya diatur dalam undang-undang.[6]
Dalam sumber lain disebutkan bahwa faktor-faktor yang harus diperhatikan oleh para pihak yang akan mengadakan dan membuat kontrak adalah:
1)   Kemampuan hukum para pihak
Kemampuan para pihak yaitu kecapakatan dan kemampuan para pihak untuk mengadakan dan membuat kontrak. Dalam KUHPerdata ditentukan bahwa orang yang bercakap atau mampu untuk melawan hukum adalah orang yang telah dewasa, yakni mereka yang telah berumur 21 tahun atau pernah menikah. Orang di bawah umur atau di bawah pengampuan tidak wenang membuat kontrak, sehingga apabila mereka membuat dan menandatangi kontrak dengan orang yang sudah dewasa maka kontrak tersebut dapat memintakan pembatalan kepada pengadilan.
2)   Perpajakan
Pada dasarnya didalam setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak mengandung kewajiban untuk membayar pajak pada negara, baik itu PPh, BPHTB, dan bea materai. Pengenaan pajak ini disesuaikan dengan objek kontrak.
3)   Alas hak yang sah
Yang dimaksud dengan alas hak adalah peristiwa hukum yang merupakan dasar penyerahan barang, seperti tukar menukar, jual beli, dan sebagainya. Alas hak yang sah ini berkaitan dengan cara seseorang memperoleh atau menguasai suatu benda dengan cara yang sah. Sehingga sebelum disetujui kontrak para pihak harus memperhatikan objek kontraknya, apakah objek kontrak tersebut milik yang sah dari para pihak atau tidak. 
4)   Masalah keagrariaan
Perancang kontrak juga harus memperhatikan masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum agraria, apabila objek kontrak atau perjanjian berupa tanah atau semacamnya.
5)   Pilihan hukum
Dalam suatu kontrak yang berlaku secara internasional, pilihan hukum menjadi sangat penting dalam perancangan kontrak. Pilihan hukum ini berkaitan dengan hukum apakah yang akan digunakan. Apabila terjadi sengketa antara para pihak.
6)   Penyelesaian sengketa
Perjanjian tidak selalu dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dalam setiap kontrak perlu dimasukkan klausul mengenai sengketa apabila salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi).
7)   Pengakhiran kontrak
Dalam Pasal 1266 KUHPerdata ditentukan bahwa: “Tiap-tiap pihak yang akan mengakhiri kontrak harus dengan keputusan pengadilan yang mempunyai yurisdiksi atas kontrak.” Ketentuan ini bertujuan melindungi pihak yang lemah.
8)   Bentuk perjanjian standar
Perjanjian standar atau biasa disebut dengan standard contract adalah perjanjian yang ditentukan oleh satu pihak  dan dituangkan dalam bentuk formulir.


F.   Tahap-tahap Perancangan Kontrak
Pada dasarnya, setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak harus dirancang dengan benar. Dalam merancang kontrak tersebut tentunya harus diperhatian berbagai tahapan dalam perancangan kontrak. Akan tetapi, hingga kini belum ada aturan ataupun model yang baku dalam perancangan ini. Para ahli berbeda pendapat tentang tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam perancangan kontrak.
Hikmahanto Juwana mengemukakan bahwa terdapat 7 tahap dalam perancang kontrak khususnya kontrak bisnis, yang meliputi:
1.    Kesepakatan para pihak,
2.    Pembuatan kontrak,
3.    Penelahaan kontrak,
4.    Negosiasi perancang kontrak,
5.    Penandatanganan kontrak,
6.    Pelaksanaan, dan
7.    Sengketa.[7]
Namun dalam pandangan ini kurang lengkap karena tidak menganalisis pada tahap prakontraktual berupa penawaran dan penerimaan, sehingga harus dilengkapi dengan menjadikan penawaran dan penerimaan sebagai tahap pertama sebelum adanya kesepakatan para pihak.
Dalam pandangan lain disebutkan bahwa secara sistematis terdapat 3 tahap dalam perancangan kontrak di Indonesia sebagai berikut:

a)   Tahap Pra-Perancangan Kontrak
Tahap pra-perancangan merupakan tahap sebelum kontrak dirancang dan disusun. Sebelum kontrak disusun, terdapat empat hal yang harus diperhatikan oleh para pihak, yang meliputi:
1.    Identifikasi para pihak
Tahap identifikasi para pihak merupakan tahap untuk menentukan dan menetapkan identitas para pihak yang akan mengadakan kontrak itu. Identitas para pihak harus jelas dan para pihak harus memiliki kewenangan hukum untuk membuat kontrak sebagaimana di tentukan pada Pasal 1330 KUHPerdata. Selain itu, hal ini penting untuk mengetahui para pihak yang benar-benar mempunyai full power sebagai representatif dari suatu perusahaan yang bonafit atau tidak.[8]
2.    Penelitian awal aspek terkait
Pada dasarnya pihak-pihak yang membuat kontrak berharap bahwa kontrak tersebut dapat menampung semua keinginan yang menjadi hakikat kontrak tersebut secara terperinci dan jelas. Perancangan kontrak harus menjelaskan hal-hal yang tertuang dalam kontrak yang bersangkutan, konsekuensi yuridis, serta alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan, dalam penelitian ini pula diteliti dalam beberapa aspek yang berkaitan dengan kondisi politik dakam negeri para pihak, sistem hukum, dampak sosial, dan aspek ekonomi. Hal ini perlu dilakukan agar pelaksanaan kontrak tersebut tidak banyak mendapat hambatan. Pada akhirnya perancang kontrak akan menyimpullkan hak dan kewajiban masing-masing pihak terkait dengan isi kontrak, seperti unsur pembayaran, ganti rugi, dan perpajakan.
3.    Pembuatan Memorandum of Understanding (MoU)
Pembuatan Memorandum of Understanding (MoU) merupakan nota kesepahaman yang dibuat oleh para pihak sebelum kontrak itu dibuat sebelum kontrak itu dibuat secara terperinci. Memorandum of Understanding (MoU) ini memuat berbagai kesepakatan para pihak dalam berbagai bidang, seperti di bidang investasi, pasar modal, pengembangan pendidikan, kesepakatan dalam bidang ekonomi, dan lain-lain. Bentuk MoU ini dalam praktik dapat berbentuk nota kesepahaman, nota kesepakatan, perjanjian pendahuluan, dan lain sebagainya.[9]
4.    Perundingan (negosiasi)
Negosiasi mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam perancangan kontrak, karena tahap ini merupakan tahap untuk menentukan objek dan substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Negosiasi ini memiliki 2 corak, yaitu negosiasi dengan perunding lunak (soft bergainer) dan negosiasi dengan perunding keras (hard bergainer). Negosiasi dengan perunding lunak banyak dilakukan di lingkungan keluarga, antara sahabat dan sebagainya, yang bertujuan untuk membina hubungan baik. Kelebihan corak ini adalah cepat menghasilkan kesepakatan, namun mengandung risiko berupa pola menang-kalah (win-lose). Adapun negosiasi dengan perunding keras sering menemui kebuntuan lantaran adanya tekanan dan ancaman, terutama pada situasi di mana perunding keras saling bertemu. Sehingga yang paling efektif dalam bernegosiasi adalah dengan memadukan kedua corak, yaitu menganut asas win-win solution.[10]

b)   Tahap Perancangan Kontrak
Tahap kedua dalam membuat kontrak adalah tahap perancangan kontrak, yang memerlukan ketelitian dan kejelian para pihak maupun notaris. Tahap perancangan kontrak ini terbagi dalam beberapa bagian yaitu:
1.    Perumusan dan pembuatan naskah kontrak
Naskah atau draf kontrak merupakan konsep kontrak yang dirancng oleh para pihak. Dengan tahap ini para pihak akan merumuskan dan membuat kontrak yang mana selanjutnya akan diserahkan pada pihak lain dan dikaji lebih mendalam. Naskah kontrak ini meliputi judul kontrak, pembukaan kontrak, pihak-pihak dalam kontrak, resital, substansi kontrak, dan penutup. Adapun di Amerika, kontrak ini berisi hal-hal sebagai berikut, yaitu: recital (penjelasan resmi/latar belakang terjadinya suatu kontrak), consideration (berisi tentang prestasi), warranties and reseprentation (garansi/jaminan dan perwakilan), risk allocatian (pembagian resiko), coditions and terms (syaratnya), dates and termination (mulai dan pengakhiran kontrak), boilerplate dan signature (tanda tangan para pihak).[11]
2.    Perundingan atau negosiasi lanjutan
Setelah para pihak selesai membuat naskah kontrak, maka naskah kontrak ini akan ditukar. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan pada para pihak untuk mempelajari isi kontrak yang telah disusun. Apabila salah satu pihak tidak menyetujui perihal salah satu kontrak, pihak tersebut dapat mengusulkannya untuk dirundingkan bersama. Selanjutnya para pihak akan merundingkan atau menegosiasikan lanjutan dalam isi kontrak. Apabila pada hasil perundingan tersebut telah tercapai kesepakatan, usulan tadi dapat dimasukan dalam draf kontrak yang selanjutnya dapat dilakukan revisi terhadap rancangan naskah kontrak.
3.    Pembahasan naskah akhir kontrak
Pembahasan naskah hasil kontrak merupakan tahap penyelesaian akhir, yaitu upaya untuk membereskan atau menyudahi naskah kontrak yang dibuat oleh para pihak, dan telah menyetujui naskah kontrak yang telah dirancang, baik oleh salah satu pihak maupun secara bersama oleh para pihak. 
4.    Penandatanganan naskah hasil kontrak
Bagian akhir dari tahap-tahap perancangan kontrak ini adalah tahap penandatangannan kontrak, yang merupakan wujud persetujuan atau kesepakatan atas segala substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak

c)    Tahap Pasca-Perancangan Kontrak
Setelah melalui tahap pra dan perancangan kontrak, naskah kontrak yang telah ditandatangani oleh para pihak akan memasuki tahap pasca tahap peancangan yang meliputi tahap pelaksanaan dan penasfsiran, serta penyelesaian sengketa.
1.    Pelaksanaan
Setelah suatu kontrak selesai disusun dan ditandatangani oleh para pihak, barulah kontrak tersebut dapat dilaksanakan. Pelaksanan kontrak ini harus sesuai dengan substansi-substansi yang telah disepakati dalam isi kontrak, karena sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa setiap perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya.
2.    Penafsiran
Pada dasarnya, suatu kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah dapat dimengerti dan dipahami isinya. Akan tetapi pada kenyataannya banyak kontrak yang isinya membingungkan bagi para pihak. Penafsiran kontrak dilakukan apabila dalam kontrak yang telah disepakati maupun dalam pengimplementasian kontrak terdapat kata-kata atau kalimat yang membingungkan, sehingga menimbulkan hambatan untuk mewujudkan maksud dan tujuan dari para pihak. Penafsiran dalam kontrak diatur dalam Pasal 1342 sampai dengan Pasal 1351 KUHPerdata.
Dalam Pasal 1342 KUHPerdata disebutkan bahwa apabila suatu kontrak memiliki kata-kata yang jelas, maka tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Barulah apabila kata-katanya tidak jelas dapat dilakukan penafsiran terhadap isi kontrak dengan memperhatikan beberapa aspek, di antaranya:
a)    Jika kata-kata dalam kontrak memberikan berbagai macam penafsiran, maka harus menyelidiki maksud para pihak yang membuat perjanjian (Pasal 1343 KUHPerdata).
b)   Jika suatu janji memberikan berbagai penafsiran, maka harus diselidiki pengertian untuk memungkinkan perjanjian itu dapat dilaksanakan (Pasal 1344 KUHPerdata).
c)    Jika kata-kata dalam perjanjian mengandung dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian (Pasal 1345 KUHPerdata).
d)   Apabila terjadi keragu-raguan, maka harus ditafsirkan menurut kebiasaan dalam negeri atau di tempat perjanjian dibuat (Pasal 1346 KUHPerdata).
e)    Jika ada keragu-raguan, perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang meminta diperjanjikan suatu hal, dan untuk keuntungan orang yang mengikatkan dirinya untuk itu (Pasal 1349 KUH Perdata).[12]
3.    Penyelesaian sengketa
Dalam pelaksanan kontrak tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa. Dalam hal seperti ini para pihak bebas menentukan cara yang akan ditempuh jika timbul perselisihan atau sengketa di kemudian hari. Penyelesaian sengketan ini biasanya diatur secara tegas dalam kontrak. Secara garis besarnya, penyelesaian sengketa ini dibagi menjadi dua, yaitu melalui pengadilan (litigasi) dan di luar pengadilan (non-litigasi), seperti mediasi, arbitrase dan negosiasi.


G. Format Kontrak
Salah satu unsur paling penting dalam merancang kontrak adalah memperhatikan struktur dan anatomi kontrak yang dibuat. Struktur kontrak adalah susunan kontrak yang akan dirancang, sedangkan anatomi kontrak berkaitan dengan letak dan hubungan antara bagian satu dengan bagian lainnya.
Apa yang dimuat di dalam masing-masing bagian tentunya tidak sama pentingnya antara satu kontrak dengan kontrak lainnya, karena biasanya kontrak yang sederhana tidak banyak dicantumkan hal-hal dalam bagian pendahuluan maupun penutupnya. Sedangkan bagian isilah yang biasanya mengatur berbagai hal yang dikehendaki oleh para pihak, baik itu unsur esensialia maupun unsur aksidentalia.[13]
Dalam suatu kontrak terdapat beberapa syarat. Banyaknya macam syarat yang dicantumkan dalam pasal-pasal tentang persyaratan yang diinginkan beberapa pihak biasanya sangat bergantung pada besarnya nilai ontrak atau rumitnya permasalahan pada kontrak tersebut.[14] Akan tetapi, yang harus diingat bahwa unsur esensial dari kontrak tersebut harus dicantumkan sedangkan unsur lainnya boleh juga tidak dimuat karena telah diatur oleh undang undang.
Pada umumnya kontrak terbagi atas tiga bagian utama, yaitu bagian pendahuluan, bagian isi, dan penutup.
1.    Bagian Pendahuluan
a.    Sub bagian pembuka (description of the instruments)
Sub bagian ini memuat beberapa hal, yaitu:
§  Sebutan atau nama kontrak dan peyebutan lainnya (penyingkatan yang akan dilakukan);
§  Tanggal dari kontrak yang dibuat dan ditandatangani; dan
§  Tempat dibuat dan ditandatanganinya konttak (catatan: tidak selalu ada).[15]
b.    Sub pencantuman identitas para pihak (caption)
Dalam sub bagian ini dicantumkan identitas para pihak yang mengikatkan diri dalam kontrak dan siapa-siapa yang menandatangi kontrak. Ada tiga hal yang harus diperhatikan tentang identitas para pihak, yaitu:
§  Para pihak harus disebutkan dengan jelas;
§  Orang yang menandatangani harus disebutkan kapasitasnya sebagai apa; dan
§  Pendefinisian pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.[16]
c.    Sub bagian penjelasan
Pada sub bagian ini diberikan penjelasan mengapa para pihak mengadakan kontrak (sering disebut sebagai premis, witnesseth, whereby, recitals, menerangkan terlebih dahulu, dan lain-lain).[17]

2.    Bagian Isi
Pada bagian isi terdapat empat hal pengaturan, yaitu sebagai berikut.[18]
a.    Klausul definisi (definition)
Pada klausul ini biasaanya dicantumkan sebagai definisi untuk keperluan kontrak, di mana definisi ini hanya berlaku pada kontrak tersebut dan dapat mempunyai arti khusus dari pengertian umum. Klausul definisi dalam rangka mengefesienkan klausul-klausul selanjutnya karena tidak perlu diadakan pengulangan.
b.    Klausul transaksi (operative language)
Klausul transaksi adalah klausul-klausul yang berisi tentang transaksi yang akan dilakukan. Misalnya dalam jual beli aset, harus diatur tentang objek yang akan dibeli dan pembayarannya. Demikian pula dengan suatu kontrak patungan, perlu diatur tentang kesepakatan para pihak dalam kontrak tersebut.
c.    Klausul spesifik
Klausul spesifik mengatur hal-hal yang spesifik dalam suatu transaksi. Artinya, klausul tersebut tidak terdapat dalam kontrak dengan transaksi yang berbeda.
d.   Klausul ketentuan umum
Klausul ketentuan umum adalah klausul yang seringkali dijumpai dalam berbagai kontrak dagang maupun kontrak lainnya. Klausul ini antara lain mengatur tentang domisili hukum, penyelesaian sengketa, pilihan hukum, pemberitahuan, keseluruhan dari perjanjian, dan lain-lain.

3.    Bagian Penutup
Pada bagian penutup terdapat hal-hal berikut.[19]
a.     Sub bagian kata penutup (closing)
Kata penutup biasanya menerangkan bahwa perjanjian tersebut dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang memiliki kapasitas untuk itu. Atau para pihak menyatakan ulang bahwa mereka akan terikat dengan isi kontrak.
b.    Sub bagian ruang penempatan tanda tangan
Sub bagian ini merupakan tempat di mana pihak-pihak menandatangani perjanjian dengan menyebutkan nama pihak yang terlibat dalam kontrak, nama jelas “orang” yang menandatangani dan jabatan dari orang yang menandatangani.
c.     Lampiran (apabila ada)
d.    Status lampiran
Lampiran selalu disebut sebagai sesuatu yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam kontrak.
e.    Isi lampiran
Lampiran pada dasarnya dapat berisi berbagai hal, termasuk dokumen-dokumen pendukung. Format kontrak-kontrak yang menyertai kontrak utama, format legal opinion, dan lain-lain.





DAFTAR PUSTAKA

AK, Syahmin. 2006. Hukum Kontrak Internasional. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
HS, Salim, dkk. 2007. Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU). Jakarta: Sinar Grafika.
Hutagalu, Sophar Maru. 2013. Kontrak Bisnis di Asean: Pengaruh Sistem Hukum Common Law dan Civil Law. Jakarta: Sinar Grafika.
Miru, Ahmadi. 2013. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: Rajawali Pers.
Rajaguguk, Erman. 1994. Kontrak Dagang Internasional dalam Praktik di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.



[1] Salim HS (et.al.), Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 1.
[2] Ibid., hal. 2.
[3] Erman Rajaguguk, Kontrak Dagang Internasional dalam Praktik di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1994), hal. 3-8.
[4] Salim HS (et.al.), Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding..., hal. 62.
[5] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal. 147.
[6] Ibid., hal. 151.
[7] Salim HS (et.al.), Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding..., hal. 83.
[8] Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 27.
[9] Ibid.
[10] Salim HS (et.al.), Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding..., hal. 88.
[11] Ibid., hal. 91.
[12] Ibid., hal. 92.
[13] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak..., hal. 152.
[14] Ibid., hal. 154.
[15] Sophar Maru Hutagalu, Kontrak Bisnis di Asean: Pengaruh Sistem Hukum Common Law dan Civil Law, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 167.
[16] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Dan Perancangan Kontrak..., hal. 154-155.
[17] Sophar Maru Hutagalung, Kontrak Bisnis di Asean..., hal. 167.
[18] Salim HS (et.al.), Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding..., hal. 97.
[19] Sophar Maru Hutagalung, Kontrak Bisnis di Asean..., hal. 169.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUMD DI KABUPATEN TULUNGAGUNG

PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA INDONESIA

Hukum Jaminan: PENGGOLONGAN JAMINAN