Fiqh Munakahah: Talak dan Rujuk
TALAK DAN RUJUK
oleh:
Vivin Najihah
A. TALAK
1. Definisi Talak
Talak
berasal dari kata ithlaq yang menurut bahasa berarti melepaskan atau
meninggalkan. Sedangkan menurut syara’, para ulama mendefinisikan talak sebagai
berikut.
a. Sayyid
Sabiq
Talak
yaitu melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.[1]
b. Al
Jaziry
Talak
menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan
kata-kata tertentu.[2]
c. Abu
Zakaria Al Anshari
Talak
ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya.[3]
Jadi,
secara istilah talak dapat didefinisikan sebagai putusnya ikatan perkawinan
antara suami dan istri dengan
menggunakan lafadz talak atau yang semaknanya, sehingga istri
tidak halal lagi bagi si suami.
2. Dasar Hukum Talak
Dalil
atau dasar utama yang dapat dijadikan rujukan mengenai disyariatkannya
talak adalah Al Qur’an, As Sunnah dan ijma’. Dalam Al Qur’an, banyak firman
Allah Swt yang mebicarakan talak,
yang
di antaranya:
QS. Al Baqarah
[2]: 229
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang dzalim.”
Artinya: “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum
kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan
maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu,
kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang
memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan
janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Melihat segala apa yang kamu kerjakan.”
QS. Al Ahzab [33]: 49
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”
QS. At Thalaq [65]: 1
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu,
maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada
Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah
mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang
terang. Itulah
hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia
telah berbuat dzalim terhadap
dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui
barangkali Allah mengadakan
sesudah itu sesuatu hal yang baru.”
Adapun dalam As Sunnah, banyak pula hadis tentang talak, yang salah satunya adalah:
أَبْغَضُ
الْحَلَالِ
إِلَى
اللّٰهِ
تَعَالَى
الطَّلَاقُ
Artinya: “Halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak.”
3. Macam-macam Talak
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak, maka dibedakan
menjadi 3 (tiga) macam, yakni:
a. Talak Sunni, yaitu talak yang
dijatuhkan sesuai dengan tuntunan sunnah. Dikatakan talak sunni apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
ü Istri yang ditalak
sudah pernah digauli.
ü Istri dapat segera
melakukan iddah suci setelah ditalak.
ü Talak tersebut
dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci.
ü Suami tidak pernah
menggauli istri selama masa suci dimana talak itu dijatuhkan.
b. Talak Bid’i, yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai
atau bertentangan dengan tuntunan sunnah, serta tidak memenuhi syarat-syarat
talak sunni. Yang termasuk ke dalam talak bid’i ini seperti:
ü Talak yang dijatuhkan
terhadap istri dalam keadaan haid, baik di permulaan maupun di pertengahannya.
ü Talak yang
dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci namun pernah digauli dalam masa
dimana talak itu dijatuhkan.
ü Talak yang
dijatuhkan dua sekaligus, tiga sekaligus atau mentalak istri untuk
selama-lamanya.
c. Talak la Sunni wa la Bid’i, yaitu talak yang tidak termasuk dalam kategori
talak sunni ataupun talak bid’i, semisal:
ü Talak yang
dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli.
ü Talak yang
ijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid atau istri yang telah lepas
haid.
ü Talak yang
dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.
Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yakni:
a) Talak Sharih, yaitu talak dengan menggunakan kata-kata
yang jelas dan tegas, serta dapat dipahami secara langsung sebagai pernyataan
talak seketika diucapkan. Menurut Imam Syafi’i, lafadz yang dipergunakan untuk
talak sharih ada tiga, yakni: cerai (talak), pisah (firaq), dan
terlepas (sarah). Lafadz pertama (talak) ini sudah populer, baik secara
bahasa maupun syara’. Lafadz kedua dan ketiga terdapat dalam Al Qur’an dengan
makna terpisah antara kedua pasang suami istri.[4] Beberapa
contoh talak sharih ini, seperti suami berkata kepada istrinya:
·
Engkau saya talak (cerai) sekarang juga
·
Engkau saya firaq (pisahkan) sekarang juga
·
Engkau saya sarah (lepas) sekarang juga
b)
Talak Kinayah, yaitu talak dengan menggunakan kata-kata
sindiran atau samar, seperti:
·
Engkau tidak bersuami,
·
Engkau haram untukku,
·
Engkau sekarang telah jauh dariku,
·
Pulanglah ke rumah orang tuamu sekarang,
·
Keluarlah engkau dari rumah ini sekarang juga,
·
Selesaikan sendiri segala urusanmu,
dsb.
Adapun salah satu lafadz (kata) yang kinayah menurut riwayat
ialah Umar bertanya kepada seseorang yang berkata kepada istrinya: Habluki
‘ala ghaaribik (pengikatmu ada pada orang lain). Bertanya Umar: “Apakah
kamu bermaksud menceraikannya?” Lelaki (orang) tersebut menjawab: “Ya, saya
bermaksud menceraikannya.” Umar berkata: “Demikian kehendakmu.”[5]
Sesungguhnya kata-kata sindiran (lafadz kinayah) ini bisa berarti talak ataupun
zhihar (penyerupaan istri dengan mahram suami), tergantung pada niatnya.
Ditinjau dari segi ada atau tidaknya kemungkinan si (mantan) suami merujuk kembali mantan istrinya, maka talak dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
a.
Talak Raj’i
Talak raj’i yaitu
talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang pernah digauli dan bukan
karena memperoleh ganti harta (‘iwadh) dari pihak istri, dimana suami
boleh merujuk istrinya pada waktu iddah. Dr. As-Siba’i mengatakan bahwa talak
raj’i adalah talak yang untuk kembalinya bekas istri kepada bekas suaminya
tidak memerlukan pembaruan akad nikah, tidak memerlukan mahar, serta tidak
memerlukan persaksian.
Setelah
terjadi talak raj’i, maka si istri wajib ber-iddah. Hanya apabila kemudian si
suami hendak kembali kepada mantan istrinya sebelum masa iddah berakhir, maka
hal ini dapat dilakukan hanya dengan menyatakan rujuk tanpa adanya pembaruan
akad nikah sebagaimana disebutkan di atas. Namun apabila hingga masa iddah
berakhir si suami tidak merujuk, maka kedudukan talak tersebut berubah menjadi
talak ba’in. Sehingga jika dalam hal ini si suami hendak merujuk, maka wajib
dengan akad nikah dan mahar baru.
Talak raj’i
hanya terjadi pada talak pertama dan talak kedua, hal ini berdasarkan firman
Allah dalam QS. Al Baqarah [2]: 229.
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”
Ayat ini memberi makna bahwa talak yang disyariatkan oleh
Allah Swt ialah talak yang dijatuhkan satu demi satu (tidak sekaligus), dan
suami boleh merujuk kembali istrinya setelah talak pertama maupun yang kedua
selama dalam iddahnya.
b.
Talak Ba’in
Talak ba’in yaitu
talak yang tidak memberi hak merujuk bagi si suami terhadap mantan istrinya,
dan untuk mengembalikan mantan istrinya tersebut dalam ikatan perkawinan maka
harus melalui akad nikah baru, lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.
Talak ba’in
ini dibedakan menjadi dua, yakni talak ba’in sughra dan talak ba’in
kubra.
1) Talak Ba’in Sughra, adalah talak yang menghilangkan kepemilikan
mantan suami terhadap istri, tanpa menghilangkan kehalalan si suami untuh
menikah kembali dengan mantan istrinya melalui akad nikah baru. Yang termasuk
dalam talak ba’in sughra ini antara lain:
§ Talak sebelum
berkumpul,
§ Talak dengan
penggantian harta atau tebusan (khulu’),
§ Talak karena aib
(cacat badan), karena salah seorang dipenjara, karena penganiayaan, atau
semacamnya.
2)
Talak Ba’in Kubra, yaitu talak yang menghilangkan kepemilikan
mantan suami terhadap mantan istri, serta menghilangkan kehalalan mantan suami
untuk menikahinya kembali, kecuali setelah si mantan istri telah menikah dan
berkumpul dengan laki-laki lain kemudian bercerai secara wajar dan melewati
masa iddahnya. Talak ba’in kubra ini terjadi pada talak yang ketiga. Hal ini
sesuai dengan firman Allah Swt dalam QS Al Baqarah [2]: 230.
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”
Ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak kepada istrinya, maka terdapat beberapa macam talak, antara lain:
a) Talak
dengan ucapan
Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan
di hadapan istrinya dan istri mendengar secara langsung ucapan suami itu.[6]
b) Talak
dengan tulisan
Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami secara tertulis
yang disampaikan kepada istrinya, kemudian istri membacanya dan memahami isi
dan maksudnya. Fuqaha’ mensyaratkan bahwa tulisan itu hendaknya jelas
dan terlukis. Maksudnya jelas adalah jelas tulisannya sehingga terbaca ketika
ditulis di lembaran kertas dan sesamanya.[7]
Sedangkan yang dmaksud terlukis adalah tulisan tersebut dialamatkan kepada si
istri.
Talak yang
dinyatakan secara tertulis ini dipandang sah, meski yang bersangkutan dapat
mengucapkannya. Adapun tulisan orang yang tuna wicara diperselisihkan di antara
ulama. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa tulisan tersebut termasuk dalam
talak sindiran, dan apabila disertai dengan niat maka talak tersebut menjadi
sah. Sedangkan sebagian ulama lain berpendapat bahwa tulisan itu termasuk talak
sharih.[8]
c) Talak
dengan isyarat
Talak dengan isyarat yaitu talak yang dilakukan dalam bentuk isyarat oleh
suami yang tuna wicara terhadap istrinya. Isyarat bagi seorang suami yang tuna
wicara dipandang sebagai alat komunikasi untuk menympaikan maksud dan isi
hatinya. Oleh karenanya, isyarat baginya sama dengan ucapan dalam menjatuhkan
talak, sepanjang isyarat tersebut jelas dan meyakinkan maksud talak.
Sebagian
fuqaha mnsyaratkan bahwa untuk sahnya talak dengan isyarat bagi orang tuna
wicara ini adalah ia seorang yang buta huruf. Apabila yang bersangkutan
mengenal tulisan dan mampu menulis, maka talak baginya tidak cukup dengan
isyarat. Karena tulisan dianggap lebih dapat menunjukkan maksud ketimbang
isyarat.
Adapun hukum
talak dengan isyarat bagi orang yang dapat berbicara ini ulama berbeda
pendapat. Pertama, isyarat talak bagi orang yang dapat berbicara tidak
sah talaknya, karena isyarat talak merupakan hak bagi orang tuna wicara sebagai
pengganti ucapan yang diposisikan karena darurat. Kedua, isyarat orang
yang dapat berbicara dikategorikan sebagai talak sindiran (kinayah),
karena secara global memberi pemahaman talak.
d) Talak
dengan utusan
Talak dengan utusan yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada istrinya
melalui perantara orang lain sebagai utusan untuk menyampaikan maksud suami
yang mentalak istrinya. Dalam hal ini utusan tersebut berkedudukan sebagai wakil
suami dalam menjatuhkan talak kepada istri yang tidak berada di hadapannya.
4. Rukun dan Syarat Talak
Rukun talak merupakan unsur pokok yang harus ada dalam talak,
dan terwujudnya talak bergantung pada terpenuhinya unsur-unsur ini. Rukun talak
terdiri atas 4 (empat) unsur, yakni sebagai berikut:
a. Suami
Dalam hal ini,
suami adalah pihak yang memiliki hak untuk menjatuhkan talak. Adapun suatu
talak dapat dikatakan sah apabila seorang suami memenuhi syarat-syarat berikut:
1) Berakal. Maka suami yang dalam keadaan rusak atau hilang
akal tidak sah apabila menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan hilang akal di
sini yakni meliputi sakit pitam, hilang akal karena sakit panas, mabuk, marah
atau sakit ingatan karena rusak syaraf otaknya.
2)
Baligh, sehingga tidak dipandang jatuh (sah) talaknya
orang yang belum dewasa. Namun demikian, ulama Hanabilah berpendapat talak yang
dijatuhkan oleh anak yang mumayyiz kendati usianya belum mencapai 10
tahun tetap dianggap sah.
3) Atas kemauan sendiri. Yang dimaksud atas kemauan sendiri
di sini ialah adanya kehendak dan kesukarelaan dari diri suami untuk
menjatuhkan talak, dan bukan karena adanya paksaan dari orang lain. Oleh sebab
itu, tidak sah talaknya orang yang dipaksa tanpa didasarkan kebenaran.
Adapun
syarat-syarat bagi si suami dalam menjatuhkan talak ini didukung oleh beberapa
sabda Nabi Muhammad Saw yang di antaranya yakni:
رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي
الْخَطَّاءُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا السْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
Artinya: “Terangkat dari umatku kesalahan, lupa, dan dipaksa.”
كُلُّ طَلَاقٍ جَائِزٌ
إِلَّا طَلَاقَ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ
Artinya: “Setiap talak itu boleh kecuali talaknya
orang yang kurang akalnya.”
(HR. At Tirmidzi dan Al Bukhari secara mauquf)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ
حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنِ الْحَسَنِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
أَرَادَ أَنْ يَرْجُمَ مَجْنُونَةً فَقَالَ لَهُ عَلِيٌّ مَا لَكَ ذَلِكَ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الطِّفْلِ
حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَبْرَأَ أَوْ يَعْقِلَ فَأَدْرَأَ
عَنْهَا عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far dari Sa'id dari Qatadah dari Al Hasan bahwa Umar bin Khattab hendak merajam perempuan gila. Maka Ali bertanya kepadanya; Kenapa kamu hendak melakukan hal itu? saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Diangkat pena (tidak dianggap sebagai dosa) dari tiga orang: orang yang tidur hingga bangun, anak kecil sampai dia bermimpi dan orang gila sampai sadar atau dia berakal." Maka Umar meninggalkannya.”[9]
b.
Istri
Untuk sahnya
talak, bagi istri yang ditalak disyaratkan sebagai berikut:
1)
Istri telah
terikat dengan perkawinan yang sah dengan suaminya.[10]
Jika ia menjadi istri dengan akad nikah yang batil, maka talak yang demikian
tidak dipandang ada.
2)
Istri dalam
keadaan suci yang belum dicampuri oleh suaminya dalam masa sucinya.
3)
Istri tersebut
masih dalam perlindungan kekuasaan suami.
c.
Sighat talak
Sighat talah
adalah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukkan
maksud talak, baik secara sharih (jelas) maupun kinayah
(sindiran), yang berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat (bagi suami yang tuna
wicara) ataupun dengan utusan/suruhan orang lain.
Talak tidak
dipandang jatuh (sah) apabila perbuatan suami terhadap istrinya menunjukkan
kemarahan, misalnya suami memarahi istri kemudian ia menjatuhkan talak, maka
yang demikian itu tidak sah talaknya. Begitu pula dengan niat talak yang belum
diutarakan atau masih dalam angan-angan maupun pembicaraan suami tentang talak
yang tidak ditujukan terhadap istrinya, juga tidak dipandang sebagai talak.
d.
Qashdu (jelas)
Yang dimaksud dengan sengaja artinya bahwa dengan ucapan talak
tersebut dimaksudkan oleh yang mengucapkannya (si suami) sebagai talak, dan bukan untuk
maksud lain. Oleh karena itu, salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak dipandang
tidak jatuh talak, seperti suami memberikan sebuah salak kepada
istrinya, semestinya ia mengatakan kepada istrinya itu kata-kata: “Ini sebuah salak
untukmu”, tetapi keliru ucapan, berbunyi: “Ini sebuah talak untukmu”,
maka talak tidak dipandang jatuh.[11]
5.
Hukum Menjatuhkan Talak
Pada dasarnya, akad nikah dimaksudkan untuk selamanya
sampai akhir hayat, dan agar suami-istri dapat membangun rumah tangga yang sakinah,
mawadah, wa rahmah. Oleh karena itu, maka syariat Islam menjadikan
pertalian suami istri dalam ikatan perkawinan sebagai pertalian yang suci dan
kokoh, sehingga tidak sepantasnya bagi mereka (suami istri) merusak dan
memutuskan tali pengikat tersebut, sebagaimana dalam Al Qur’an menyebut pertalian
tersebut sebagai mitsaq ghalizh (janji kukuh). Firman Allah Swt dalam
QS. An Nisa’ [4]: 21 menyatakan:
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum asal menjatuhkan talak bagi seorang suami. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa suami diharamkan menjatuhkan talak kecuali karena darurat. Pendapat ini didasarkan atas hadis berikut:
لَعَنَ اللّٰهُ
كُلً ذَوَّاقٍ مِطْلَاقٍ
Artinya: “Allah mengutuk suami tukang pencicip lagi suka mentalak istri.”
Di antara darurat yang membolehkan suami menjatuhkan talak ialah keraguan suami terhadap perilaku istri, tertanamnya rasa tidak senang di hati suami terhadap istri. Apabila tidak ada hajat yang mengharuskan adanya talak, menjadikan perbuatannya itu mengkufuri nikmat Allah, maka talak dalam keadaan demikian dilarang.[12]
Meskipun pada dasarnya hukum talak adalah makruh, namun adakalanya
alasan-alasan terjadinya talak menyebabkan kedudukan hukum talak menjadi wajib,
haram, mubah, maupun sunnah. Berikut penjelasannya:
O Wajib. Talak menjadi wajib bagi suami atas permintaan
istri dalam hal suami tidak mampu menunaikan hak-hak istri ataupun menunaikan
kewajibannya sebagai seorang suami. Di samping itu ulama Hanabilah juga
mewajibkan talak dalam hal terjadi syiqaq dan kedua hakam memutuskan
bahwa jalan terbaiknya adalah dengan talak. Demikian pula dalam kasus illa’.
O Haram. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa talak diharamkan
jika tidak ada keperluan untuk itu, karena talak yang demikian menimbulan
mudharat, baik bagi suami maupun diri istri, serta melenyapkan kemaslahatan
kedua suami istri itu tanpa alasan.[13]
O
Mubah. Talak mubah adalah talak karena hajat seperti
akhlak wanita yang tidak baik, interaksi pergaulannya yang tidak baik dan
merugikan. Apabila pernikahan dilanjutkan pun tidak akan mendapat tujuan
apa-apa.[14]
O Sunnah. Talak disunnahkan jika istri rusak moralnya,
berbuat zina, atau, melanggar larangan-larangan agama, seperti meninggalkan
shalat, puasa, atau istri yang tidak ‘afifah (menjaga diri, berlaku
terhormat).
6.
Hikmah Talak
Walaupun Allah Swt membenci terjadinya talak dalam suatu
rumah tangga, namun sebagai jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam
keadaan tertentu boleh dilakukan. Hikmah dibolehkan talak
adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga yang terkadang menjurus pada
sesuatu yang bertentangan dengan tujuan dibangunnya rumah tangga itu sendiri.
Dalam keadaan seperti ini, apabila rumah tangga tetap dipertahankan dan
dilanjutkan, maka akan menimbulkan kemudharatan kepada kedua belah pihak maupun
orang di sekitarnya. Dan lebih baik apabila menempuh jalan untuk berpisah
(cerai). Sehingga dalam hal ini talak bertujuan untuk kemaslahatan.
B. RUJUK
1. Definisi Rujuk
Rujuk
menurut bahasa berasal dari kata raja’a–yarji’u –ruj’an
yang berarti kembali atau mengembalikan. Sedangkan secara istilah rujuk diartikan sebagai kembalinya seorang suami
kepada istrinya yang telah ditalak (raj’i) yang dilakukan pada saat masa
iddahnya tanpa melalui perkawinan lagi. Dalam hal ini, yang
mempunyai hak rujuk adalah suami, sebagai imbangan dari hak talak yang
dimilikinya.[15]
2. Dasar Hukum Rujuk
Salah
satu dasar hukum rujuk yang terdapat dalam Al Qur’an adalah QS. Al Baqarah [2]:
228.
Artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
3. Rukun dan Syarat Rujuk
Sebagaimana halnya
talak, dalam rujuk pun terdapat rukun dan syarat yang harus terpenuhi. Adapun
rukun rujuk, di antaranya:
1)
Istri
2)
Suami
3)
2 (dua) orang saksi yang adil
4)
Sighat rujuk
Apabila mantan
suami hendak merujuk mantan istrinya, maka hendaklah memenuhi syarat-syarat
berikut:
ü Istri yang ditalak
tersebut sudah pernah dikumpuli, sehingga perceraian yang terjadi dimana si
istri belum pernah dikumpuli oleh suami tidak memberikan hak rujuk bagi suami.
ü Harus dilakukan
dalam masa iddah.
ü Harus disaksikan
oleh dua orang saksi.
ü Talak yang
dijatuhkan oleh suami tidak disertai iwadh dari pihak istri.
ü Adanya persetujuan
dari istri yang akan dirujuk.
ü Suami
yang hendak merujuk atas kemauan sendiri, dan bukan karena paksaan.
4. Hukum Rujuk
Adapun hukum rujuk antara lain sebagai berikut:
a.
Wajib, khusus bagi laki-laki atau suami yang memiliki
istri lebih dari satu, jika salah seorang ditalak sebelum gilirannya disempurnakan.
b.
Haram, apabila dengan adanya rujuk ini
istri akan lebih menderita.
c.
Makruh, apabila diteruskan bercerai
dianggap akan lebih baik bagi keduanya (suami istri).
d.
Sunnah, apabila dengan rujuk dianggap
lebih baik dan menimbulkan manfaat bagi keduanya.
5. Cara Pelaksanaan
Rujuk
Terdapat 2 (dua) pendapat yang dikemukakan oleh para
ahli fiqg berkenaan dengan cara pelaksanaan rujuk, yakni:
a) Rujuk
harus dengan perkataan
b) Rujuk
boleh dengan perkataan atau perbuatan
Rujuk
dengan perkataan, misalnya mantan suami berkata kepada mantan istrinya: “Aku
rujuk kepada istriku”. Dengan diucapkannya sighat talak ini, maka rujuk itu
dianggap telah terjadi. Namun untuk sighat rujuk yang digantungkan pada suatu
syarat yang belum terjadi atau pada masa yang akan dating, dalam hal ini rujuk
dianggap tidak sah.
Rujuk
dengan perbuatan ialah apabila suami mencampuri istrinya kembali, meskipun
tidak dengan perkataan tertentu dianggap telah terjadi rujuk dan sah hukumnya.
Rujuk yang seperti ini menurut Imam Abu Hanifah dianggap sah, tetapi menurut
Imam Syafi’i belum dianggap sah apabila tidaktegas-tegas diucapkan.[16]
6. Hikmah Rujuk
Di
balik adanya rujuk ini, tentunya terdapat nilai-nilai positif yang dapat
dijadikan hikmah bagi suami, istri, maupun pihak sekitarnya, di antaranya:
§ Sarana
memikir ulang substansi perceraian yang telah dilakukan; apakah karena emosi,
hawa nafsu, atau karena kemaslahatan.
§ Sarana
mempertanggungjawabkan anak secara bersama-sama.
§ Sarana
menjalin kembali (perbaikan hubungan) antara pasangan suami istri yang
bercerai, sehingga pasangan tersebut akan lebih berhati-hati.
§ Sarana
untuk menghindari perpecahan hubungan kekerabatan di antara keluarga suami atau
istri.
[1]
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Ed. 1, Cet. 3, (Jakarta: Kencana,
2008), hlm. 192.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab
Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, Cet. 2, terj. Abdul Majid Khon, (Jakarta:
Amzah, 2011), hlm. 264.
[5] Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih
Islam Lengkap, Cet. 3, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), hlm. 259.
[7] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab
Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, Cet. 2, terj. Abdul Majid Khon, (Jakarta:
Amzah, 2011), hlm. 272.
[9] HR. Ahmad. Musnad Sepuluh Sahabat yang Dijamin Masuk Surga: Musnad Ali bin Abu Thalib Radliyallahu 'anhu, No.
1122.
[10]
Soemiyati, Hukum Perlawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan
(Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), Ed. 1, Cet. 4,
(Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 107.
[11]
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Ed. 1, Cet. 3, (Jakarta: Kencana,
2008), hlm. 204-205.
[14] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab
Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, Cet. 2, terj. Abdul Majid Khon, (Jakarta:
Amzah, 2011), hlm. 260.
[15]
Soemiyati, Hukum Perlawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan
(Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), Ed. 1, Cet. 4,
(Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 125.
[16] Ibid.,
hlm. 126.
terima kasih,
BalasHapusinformasinya sangat membantu