ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL




A.  Pengertian Hubungan Industrial
Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.[1] Adapun Dr. Payaman J. Simanjutak, APU, sebagaimana dikutip oleh Ugo, S.H., M.H. dan Pujiyo, S.H., mendefinisikan hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi barang atau pelayanan jasa disuatu perusahaan.[2]
Hubungan industrial bukan hanya sekadar manajemen organisasi perusahaan yang akan dijalankan oleh seorang manajer, yang menempatkan pekerjaan sebagai pihak yang selalu dapat diatur. Hubungan industrial meliputi fenomena baik di dalam maupun di luar tempat kerja yang berkaitan dengan penempatan dan pengaturan hubungan kerja.
Pengusaha/organisasi pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka demokratis dan berkeadilan. Karena hubungan kerja tidak hanya dilihat dari konteks hubungan antara pekerja dan pengusaha maupun peraturan-peraturan ketenagakerjaan semata, tetapi juga tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sosial, ekonomi dan politik. Mengingat di dalamnya mencakup konsep keadilan, kekuasaan, hak dan tanggung jawab.
Pada akhirnya, tujuan hubungan industrial adalah untuk meningkatkan produktivtas dan kesejahteraan pekerja dan pengusaha. Tujuan ini saling berkaitan dan terikat satu dengan lainnya yang berarti bahwa pengurangan terhadap yang satu akan mempengaruhi yang lain. Peningkatan kesejahteraan pekerja hanya layak jika produktivitas perusahaan meningkat.
Untuk mencapai produktivitas yang diinginkan, semua pihak yang terlibat dalam proses produksi terutama pengusaha perlu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif. Kunci dari hubungan industrial yang dinamis dan aman itu adalah komunikasi. Sarana komunikasi ini memerlukan perhatian yang serius. Faktor pendukung utama dalam membangun komunikasi adalah interaksi yang positif antara pekerja dan pengusaha, karena akan membantu menciptakan saling pengertian, pemahaman dan kepercayaan yang pada akhirnya akan menciptakan hubungan industrial yang damai di tempat kerja..
Berdasarkan pola hubungan antara buruh dan pengusaha ada tiga teori yaitu:[3]
a.    Pola hubungan yang harmonis; pola hubungan yang harmonis merupakan pola hubungan industrial yang memiliki ciri-ciri yang menekankan stabilitas kerja.
b.    Pola hubungan yang bersifat permusuhan; yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
-       para pihak diberi kebebasan untuk menentukan berbagai ketentuan perburuhan/ketenagakerjaan.
-       konsensus yang dicapai merupakan hasil dari konflik yang terjadi antara pekerja dan pengusaha.
-       adanya jaminan penuh atas hak untuk melakukan mogok bagi kaum buruh yang tidak berhasil menyelesaikan perselisihan perburuhan secara damai.
c.    Pola hubungan koalisi, dengan ciri-ciri:
-       dalam pola hubungan perburuhan koalisi para pihak tetap memiliki kebebasan. pemerintah campus tangan melalui penciptaan institusi-institusi, untuk pilihan a;ternatif guna menghindarkan penggunaan kebebasan secara berlebihan.
-       maksud dari konsensus merupakan kehendak para pihak yang didorong oleh intitusi-institusi yang dibentuk untuk itu.
Di Indonesia, konsep hubungan industrial yang dianut adalah hubungan industrial Pancasila yang lahir dari hasil lokakarya nasional yang diselenggarakan dari tanggal 4 sampai 7 Desember 1974 dan diikuti oleh wakil dari organisasi buruh/pekerja, organisasi pengusaha, wakil pemerintah dan unsur perguruan tinggi. Hubungan Industrial Pancasila menganut prinsip kemitraan antara pekerja dan pengusaha yakni:[4]
a.    pekerja dan pengusaha merupakan teman seperjuangan dalam proses produksi yang berarti keduanya wajib bekerja sama serta saling membantu dalam kelancaran usaha dengan meningkatkan kesejahteraan dan menaikan produksi.
b.    pekerja dan pengusaha sama dalam membagi keuntungan yang berarti keuntungan yang diterimperusahaan harus juga dapat dinikamti oleh pekerja dengan meningkatkan kesejahteraannya.
c.    pekerja dan pengusaha merupakan teman seperjuangan dalam bertanggung jawab.


B.  Ruang Lingkup Sengketa/Perselisihan
Pengertian perselisihan atau disebut juga dengan konflik adalah situasi di mana dua atau lebih pihak-pihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan di mana tiap-tiap pihak mencoba menyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuan masing-masing. Dalam pengertian lain, konflik dapat dimaknai sebagai suatu kondisi di mana pihak yang satu menghendaki agar pihak yang lain berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan yang diinginkan, tetapi pihak lain menolak keinginan itu.
Suatu keadaan dapat dikatakan sebagai perselisihan atau konflik apabila memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur dari konflik/perselisihan adalah:
a.    adanya pihak-pihak
b.    tujuan yang berbeda yakni pihak yang satu menghendaki agar pihak yang lain berbuat/bersikap sesuai dengan yang dikehendakinya.
c.    pihak yang lain menolak keiinginan tersebut atau keinginan itu tidak dapat dipersatukan.
Secara umum, suatu konflik yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor yakni:
a.    Konflik Data
Konflik ini dapat terjadi karena kekurangan informasi, kesalahan informasi, adanya perbedaan pandangan, perbedaan interprestasi/penafsiran terhadap data. Data merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan perbuatan hukum, karena jika tidak akan berakibat fatal dalam mengambil keputusan.
b.    Konflik Kepentingan
Dalam melakukan suatu aktivitas, seseorang memiliki kepentinagn-kepentingan. kepentinagn inilah yang memotivasi seseorang untuk berinteraksi satu dengan lainnya. Dalam hal ini konflik kepentingan dapat terjadi karena beberapa hal yakni:
-       adanya perasaan bersaing
-       adanya kepentinagn subtansial dari para pihak
-       adanya kepentinagn prosedur
-       adanya kepentinagn psikologi
c.    Konflik Hubungan
Konflik hubungan dapat terjadi karena adanya kadar emosi yang kuat, adanya kesalahan persepsi, miskin komunikasi ataui kesalahan komunikasi, dan tingkah laku negatif yang berulang-ulang.
d.   Konflik Struktur
Konflik ini terjadi karena adanya pola yang merusak perilaku atau interaksi, kontrol yang tidak sama, kepemilikian atau distribusi sumber daya yang tidak sama,adanya kekuasaan dan kekuatan atau faktor lingkungan yang menghalangi kerja sama, serta kurangnya waktu yang tersedia.
e.    Konflik Nilai
Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan kriteria evaluasi pendapat atau perilaku, adanya penilaian sendiri tanpa memperlihatkan penilaian orang lain. untuk menghindari konflik ini para pihak harus menghinbdari permasalahan  nilai, mengizinkan para pihak untuk menyetujui atau tidak menyetujui, menciptakan lingkungan berpengaruh dengan satu nilai yang dominan dan melakukan penelitian untuk mnecari hasil di mana semua pihak mendapat bagian.[5]
Konflik harus segera diselesaikan ahgara tidak mempunyai dampak yang meluas, langkah-langkah yang dapat ditempuh adalah:
a.    bersikap tenang;
b.    pilih pendekatan yang tebaik yang dapat diterima oleh para pihak;
c.    tentukan waktu dan lakukan musyawarah serta putuskan pihak-pihak yang akan dilibatkan;
d.   cari orang atau pihak lain untuk membantu menyel;esaikan konflik;
e.    bersama-sama memahami masalah dan kepentingan yang terdapat pada konflik tersebut; dan
f.     mengevaluasi keefektivan proses penyelesaian dan solusinya.


C.  Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial
Perselisihan hubungan industrial disebut dengan perselisihan perburuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957, adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabunagn serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, dengan syarat-syarat kerja, dan/atau keadaan perburuhan. Bertolak dari pengertian di atas para sarjana sepakat bahwa ada dua jenis perselisihan perburuhan yaitu perselisihan hak dan perselisihan kepentingan.
Kemudian menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957, perselisihan hanya bisa terjadi antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh saja. Pekerja atau buruh secara perorangan tidak bisa menjadi pihak yang berselisih, namun dalam praktiknya malah yang sering kali berselisih adalah pengusaha dengan pekerja/buruh perorangan. Oleh karena itu, Undang-Undang ini dirasakan tidak sesuai lagi, lalu dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.[6]
Secara tidak langsung Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 sebetulnya serupa dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 yang sama-sama mengenal penyelesaian secara wajib dan penyelesaian secara sukarela. Penyelesaian secara wajib harus dimulai dengan musyawarah mufakat antara pihak yang berselisih (bipartite). Kemudian kalau tidak selesai, baru dilanjutkan ke pegawai perantara di kantor yang bertanggung jawab di bidang ketenakerjaan dan seterusnya ke panitia penyelesaian perselisihan perburuhan daerah dan pusat, sedangkan penyelesaian secara sukarela adalah melalui seorang juru atau dewan pemisah yang disebut dengan arbitrase.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, penyelesaian secara wajib juga dimulai dengan bipartite (perundingan antara kedua belah pihak yang berselisih), kalau perundingan tersebut tidak selesai, baru dilanjutkan secara mediasi oleh seorang mediator yang ada di kantor yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. Kalau tidak selesai, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Sementara itu, penyelesaian sukarela adalah melalui konsiliator dan arbiter yang dapat dipilih berdasarkan kesepakatan para pihak.


D.  Jenis-jenis Perselisihan Hubungan Industrial
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, membagi perselisihan hubungan industrial menjadi empat, yaitu:
1.    Perselisihan Hak
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[7]
Berdasarkan pengertian di atas, maka perselisihan hak merupakan suatu kejadian di mana hak salah satu pihak yang sudah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, tidak didapatkannya. Oleh sebab itu, maka pihak yang haknnya dilanggar tersebut berhak untuk menuntut terhadap pihak yang merugikan, dengan alasan berdasarkan perselisihan hak.
Perselisihan hak juga disebut sebagai perselisihan normatif, yaitu perselisihan tentang hal-hal yang telah diatur atau telah ada dasar hukumnya. Meskipun telah diatur, tidak jarang para pihak melanggarnya, pihak yang melanggar kadangkala menganggap pihak yang lain (pekerja/buruh) dapat dilanggar dengan segala macam alasan dengan argumentasi sekehendak mereka sendiri, sehingga pihak pekerja dirugikan haknnya (bisa juga sebaliknya. Perbedaan penafsiran terjadi karena tidak tegasnya batasan/penjelasan dalam peraturan dan atau adanya perbedaan penilaian atas suatu fakta hukum.[8]
Contoh kasus: Ratusan Karyawan PT Atrika Optima Inti Unjuk Rasa
Sekitar 500 karyawan PT Atrika Optima Inti (AOI) pada tanggal 15 Maret 2007. Massa demonstran langsung menuju gedung DPRD Provinsi Maluku, mereka membentangkan spanduk dan pamphlet lalu berorasi di hadapan ketua DPRD Maluku. Dalam orasinya, mereka menuntut pembayaran gaji karyawan yang ditunggak PT AOI sejak Juni 2006. Selain itu, mereka juga menuntuk hak-hak normatif lainnya yang diabaikan oleh perusahaan kayu lapis tersebut, seperti uang transport, kesehatan dan jamsostek. Karena gajinya ditunggak 8 bulan, mereka menilai perusahaan tidak fair. Padahal bila karyawan melakukan kesalahan otomatis karyawan terkena sanksi, tetapi kelalaian perusahaan tidak mendapat sanksi apa-apa.

2.    Perselisihan Kepentingan
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[9]
Dari pengertian di atas, maka perselisihan kepentingan adalah perselisihan terhadap hal-hal/masalah-masalah yang belum diatur dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan kepentingan merupakan perselisihan dalam hal membuat/merubah suatu peraturan antara pengusaha, yang mana peraturan tersebut akan diberlakukan di dalam perusahaan.
Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak (Pasal 1 angka 14). Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a.    Kesepakatan kedua belah pihak
b.    Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
c.    Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
d.   Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam hukum perjanjian syarat-syarat huruf a dan b di atas adalah syarat subjektif suatu perjanjian, yang mana syarat tersebut dapat dibatalkan oleh salah satu pihak apabila salah satu pihak merasa keberatan. Sedangkan syarat-syarat dalam huruf c dan d adalah syarat objektif yang mana perjanjian kerja yang dibuat apabila bertentangan dengan ketentuan tersebut, maka perjanjian tersebut batal demi hukum artinya dianggap tidak pernah ada perjanjian kerja.
Perbedaan antara perselisihan hak dan perselisihan kepentingan adalah:
a.    Perselisihan hak, objek sengketanya adalah tidak dipenuhi hak yang telah ditentukan.
b.    Perselisihan kepentingan objek sengketanya adalah tidak adanya keksesuaian paham/pendapat mengenai pembuatan/perubahan syarat-syarat kerja dalam perjanjian kerja bersama.[10]
Dengan kata lain, dalam perselisihan hak yang dilanggar adalah hukumnya, baik yang ada dalam peraturn perundang-undangan, dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Sedangkan dalam perselisihan kepentingan menyangkut pembuatan hukum  dan atau perubahan terhadap substansi hukum yang sudah ada.[11]  
Contoh kasus: Pekerja Karoseri Mayasari Mogok Kerja
Sekitar 180 pekerja Karoseri, perusahaan organda Mayasari Grup berdemonstrasi di Kantor Unit Karoseri Mayasari, Cibubur, Jakarta Timur. Tujuan unjuk rasa ini untuk menuntut perbaikan upah serta pembaharuan perjanjian kerjasama. Sudah dua tahun karyawan tidak mendapat upah jaminan sosial tenaga kerja dan beberapa karyawan dibayar di bawah UMR. Serta mengenai perjanjian kerjasama, persoalan cuti diminta oleh pengunjuk rasa untuk segera dibuat aturan.

3.    Perselisihan Pemutusan Hak Kerja (PHK)
Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.[12]
Perselisihan mengenai HPK selama ini paling banyak terjadi karena tindakan PHK yang dilakukan oleh satu pihak dan pihak lain tidak dapat menerimanya. PHK dapat terjadi atas inisiatif dari pihak pengusaha maupun pekerja. Dari pengusaha dilakukan karena buruh/pekerja melakukan berbagai pelanggaran. Demikian sebaliknya PHK juga dapat dilakukan atas permohonan buruh/pekerja karena pihak pengusaha tidak melaksanakan kewajiban yang telah disepakati atau berbuat sewenang-wenang kepada buruh/pekerja.[13]
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur mengenai tata cara PHK serta dasar-dasar yang dapat dijadikan alasan PHK termasuk larangan bagi pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan:
a.    Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b.    Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.    Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d.   Pekerja/buruh menikah;
e.    Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f.     Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g.    Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h.    Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i.      Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j.      Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud di atas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga mengatur alasan yang memberikan kewenangan kepada pengusaha untuk melakukan PHK terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan besar yaitu:
a.    Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b.    Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c.    Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d.   Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e.    Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f.     Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g.    Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h.    Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i.      Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j.      Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Terhadap pekerja yang terbukti melakukan kesalahan berat seperti tersebut di atas, kepadanya tidak diberikan uang pesangon. Namun demikian, pekerja yang bersangkutan berhak mendapatkan uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian. Salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam kaitannya dengan kasus PHK yag diajukan ke Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial adalah pengadilan tidak berfungsi sebagai lembaga pemberi  izin PHK, tapi menilai apakah PHK yang dilakukan oleh para pihak telah sesuai dengan hukum atau tidak, termasuk hak-hak yang diperoleh sebagai akibat dari PHK tersebut.
Selain kewenangan PHK yang datang dari pengusaha, pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
a.    Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b.    Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c.    Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d.   Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
e.    Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
f.     Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
Dalam hal pemutusan hubungan kerja terjadi berdasarkan alasan sebagaimana disebutkan di atas, pekerja berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dang anti kerugian.

4.    Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Nomor 2 Tahun 2004, perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat pekerja.
Berdasarkan pengertian tersebut, berarti bahwa di dalam sebuah perusahaan bisa saja terdapat beberapa serikat pekerja/buruh. Hal ini dimungkinkan karena Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh memberikan kemudahan dalam pembentukan serikat pekerja/buruh dalam perusahaan. Di dalam Pasal 5 ayat (2)-nya menentukan bahwa pendirian organisasi buruh sudah dapat dilakukan apabila mempunyai 10 orang anggota.[14]
Dengan jumlah yang cukup besar dan diperkirakan akan terus meningkat, dalam melakukan aktivitasnya SP/SB tersebut akan sangat berpotensi untuk melahirkan konflik antara satu dengan yang lian, khususnya dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama denga pengusaha. Serikat buruh yang satu mengklaim bahwa dirinya yang berwenang membuat perjanjian tersebut dengan pihk pengusaha, sementara serikat pekerja/serikat buruh lainnya juga mengatakan hal yang sama. Kasus serupa juga dapat terjadi berkaitan dengan masalah keanggotaan dari masing-masing serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.[15]
Untuk itu, Undang-Undang telah memberikan tempat sebagai wadah undtuk menyelesaikan apabila terjadi perselisihan di antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan tersebut.
Contoh kasus: PT Dirgantara Indonesia (PT DI)
Ada tiga organisasi buruh yaitu Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan (SP FKK), Serikat Karyawan CN 235 (SEKAR CN 235), dan Serikat Karyawan Dirgantara Indonesia (SK DI). Konflik antar serikat pekerja tersebut gara-gara kebijakan manajemen.
Tanggal 11 Juli 2003, PT DI merumahkan 9.600 karyawannya tanpa sosialisasi terlebih dahulu. Padahal sedang berlangsung penyusunan pembaruan Perjanjian Kerja Bersama. Implementasi kebijakan pengrumahan karyawan ini disertai penutupan semua pintu masuk kompleks PT DI, sehingga kantor SP FKK yang berada di lokasi perusahaan ikut tutup. Kebijakan pengrumahan ini dilanjutkan dengan PHK terhadap 6.561 orang orang dari 9.600 karyawan. Namun di pihak lain, ada sebanyak 3.100 karyawan yang dipanggil untuk bekerja kembali. Proses penentuan karyawan yang dipanggil bekerja kembali dianggap diskrimintif oleh karyawan lain yang tidak dipanggil. Bahkan menimbulkan konflik horizontal antara tiga serikat buruh dalam perusahaan tersebut karena dua serikat buruh yaitu SKDI dan SK CN 235 dianggap berpihak kepada manajemen oleh SK FKK. Konflik horizontal antara serikat pekerja ini telaha menelan korban antara lain, pengrusakan barang-barang, penghinaan, dan penganiayaan.
Kasus konflik horizontal antarserikat pekerja di PT DI ini tergolong sangat kompleks terkait dengan banyaknya faktor dan permasalahan yang melibatkan Dewan Direksi, Serikat Karyawan dan Pekerja. Sedangkan permasalahannya meliputi soal kepentingan, hak, dan PHK.


E.  Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Pada dasarnya, adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) telah memberikan suatu cara untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di dalam hubungan antara pekerja dengan pengusaha, atau lebih dikenal dengan hbungan industrial. Penyelesaian tersebut telah diatur sedemikian rupa, sehingga setiap perselisihan dapat diselesaikan hanya dalam waktu tidak lebih dari 140 hari, yang meliputi: bipartit 30 hari kerja, mediasi/konsiliasi/arbitrase 30 hari kerja, pengadilan hubungan industrial 50 hari kerja, dan Mahkamah Agung 30 hari kerja.[16] Proses penyelesaian perselisihan ini juga dapat ditempuh dalam waktu kurang dari 30 hari apabila perselesihan mencapai kesepakatan atau damai pada perundingan bipartit.
Adapun menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat ditempuh melalui 3 (tiga) tahap:
a.    Tahap pertama   : perundingan bipartit;
b.    Tahap kedua      : penyelesaian di luar pengadilan, yaitu mediasi, konsiliasi ataupun arbitrase;
c.    Tahap ketiga      : penyelesaian melalui pengadilan.
Secara garis besar, penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana dijabarkan dalam tahapan-tahapan di atas merupakan satu kesatuan. Akan tetapi, apabila diuraikan tahapan-tahapan tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu secara bipartit dan tripartit. Bipartit artinya diselesaikan tanpa melibatkan pihak ketiga, sementara tripartit diartikan dengan penyesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga. Cara penyelesaian sengketa dengan tripartit sendiri dapat ditempuh melalui jalur non-litigasi, seperti mediasi, konsiliasi dan arbitrase  maupun jalur litigasi (pengadilan).

1.    Penyelesaian melalui Bipartit (Negosiasi)
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah melalui jalan musyawarah mufakat tanpa ikut campur dari pihak lain. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang PPHI, yang dimaksud dengan perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Sementara dalam kepustakaan mengenai Alternative Dispute Resolution (ADR), penyelesaian secara bipartit disebut sebagai penyelesaian secara negosiasi. Kata negosiasi berasal dari bahasa Inggris “negotiation” yang berarti perundingan atau musyawarah. Secara umum negosiasi berarti upaya penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan tanpa melibatkan pihak lain dengan tujuan mencari kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang harmonis dan kreatif.
Penyelesaian bipartit dilakukan agar perselisihan dapat dilaksanakan secara kekeluargaan, yang diharapkan masing-masing pihak tidak merasa ada yang dikalahkan atau dimenangkan, karena penyelesaian bipartit bersifat mengikat.[17] Penyelesaian ini dilakukan terhadap semua perselisihan hubungan, di mana cara ini sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Karena dalam penyelesaian ini tidak melibatkan pihak ketiga sehingga nama baik kedua belah pihak masih terjaga, berbeda apabila perselisihan diselesaikan melalui suatu lembaga atau bahkan sampai ke pengadilan. Selain itu, penyelesaian perselisihan dengan jalan musyawarah ini juga diharapkan dapat menekan biaya dan menghemat waktu. Itulah sebabnya dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 menegaskan bahwa perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
Dalam penyelesaian hubungan industrial melalui bipartit, Undang-Undang memberikan waktu paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.[18] Dan apabila dalam jangka waktu tersebut salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Perundingan tersebut harus dibuat dalam bentuk suatu risalah yang harus ditandatangani oleh kedua belah pihak. Risalah tersebut antara lain harus memuat:
a)    Nama lengkap dan alamat para pihak
b)   Tanggal dan tempat perundingan;
c)    Pokok masalah atau alasan perselisihan;
d)   Pendapat para pihak;
e)    Kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f)    Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.[19]
Para pihak setelah melakukan perundingan bipartit, maka akan ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu tercapai kesepakatan dan tidak tercapai kesepakatan (gagal). Jika perundingan tersebut mencapai kesepakatan, hasil perundingan harus dituangkan ke dalam suatu perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para phak. Perjanjian Bersama (PB) tersebut, sebagaimana ketentuan Pasal 1385 KUH Perdata akan mengikat para pihak sebagaimana undang-undang, dan menurut Pasal 7 ayat (2) UUPPHI Perjanjian Bersama tersebut menjadi hukum yang wajib dilaksanakan oleh kedua belah pihak.[20] Untuk itu, Perjanjian Bersama tersebut harus didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan perjanjian guna mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran Perjanjian Bersama. Akta tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.[21]
Dalam hal Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, pihak yang dirugikan dapat mengajukan eksekusi ke Pengadilan Hubungan Industrial di mana Perjanjian Bersama itu didaftarkan.
Sebaliknya, apabila proses perundingan tersebut gagal (tidak mencapai hasil), maka salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat mencatatkan perselisihan tersebut ke instansi yang bertangging jawab di bidang ketenagakerjaan dengan melampirkan bukti risalah penyelesaian secara bipartit. Dan jika risalah ini tidak dilampirkan, maka pihak instansi akan mengembalikan berkas untuk dilengkapi dengan jangka waktu maksimal 7 (tujuh) hari sejak tanggal pengembalian. Selanjutnya, instansi terkait akan menawaran konsiliasi atau arbitrase dalam penyelesaian perselisihan. Namun apabila para pihak tidak menetapkan pilihan, maka penyelesaiannya akan dilimpahkan ke mediator.[22]

2.    Penyelesaian melalui Mediasi
Penyelesaian melalui mediasi (mediation) ini dilakukan melalui seorang penengah yang disebut mediator. Mediasi adalah intervensi terhdap suatu sengketa oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral serta membantu para pihak yang berselisih mencapai kesepakatan secara sukarela terhadap permasalahan yang disengketakan.[23]
Ketentuan Pasal 1 angka 11 UUPPHI menyebutkan bahwa Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Sedangkan Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi mediator tersebut tertuang dalam ketentuan Pasal 9 UUPPHI.
Setelah menerima pelimpahan, dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari kerja mediator harus telah mempelajari pokok perkara dan segera mempertemukan kedua belah pihak untuk mengadakan perundingan. Mediator juga dapat memanggil saksi ataupun saksi ahli guna dimintai keterangannya. Apabila mediasi ini berhasil mencapai kesepakatan, maka harus dituangan dalam Perjanjian Bersama dan didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial terkait. Namun jika mediasi ini gagal, maka mediator akan memberikan anjuran tertulis kepada para pihak untuk dipertimbangkan. Anjuran yang ditanggapi oleh para pihak dinyatakan mediasi berhasil dan dibuat Perjanjain Bersama, sedangkan yang tidak ditanggapi dinyatakan gagal. Pada keadaan mediasi tidak mencapai hasil (gagal) inilah para pihak dapat membuat persetujuan tertulis untuk menyelesaikan perselisihan melalui lembaga arbitrase.

3.    Penyelesaian melalui Konsiliasi
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 13 UUPPHI disebutkan bahwa Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Sedangkan yang dimaksud Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Penyelesaian melalui konsiliasi (conciliation) ini dilakukan melalui seorang atau beberapa orang atau badan sebagai penengah yang disebut konsiliator dengan mempertemukan atau memberikan fasilitas kepada phak-pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihannya secara damai.[24] Dalam hal ini konsiliator ikut berperan aktif dalam memberikan solusi terkait permasalahan yang dihadapi. Konsiliator ini merupakan pihak ketiga di luar pegawai pada instansi yang bertangging jawab di bidang ketenagakerjaan. Hal ini berbeda dengan mediator pada upaya penyelesaian sengketa sebelumnya, dengan alasan jangan sampai timbul monopoli kewenangan atau meragukan kemampuan konsiliator untuk menangani perselisihan hak maupun hukum.[25] Padahal syarat untuk menjadi konsiliator selain memiliki pengalaman minimal 5 tahun di bidangnya, juga harus menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.[26]
Cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi ini tidak jauh berbeda dengan penyelesaian secara mediasi, hanya saja dalam penyelesaian ini pihak ketiga (konsiliator) lebih berperan aktif dalam upaya penyelesaian perselisihan. Berbeda dengan mediator yang lebih bersikap pasif.

4.    Penyelesaian melalui Arbitrase
Sebagaimana upaya penyelesaian perselisihan sebelumnya, arbitrase merupakan salah satu upaya penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh para pihak yang berselisih dalam hal hubungan industrial apabila penyelesaian perselisihan secara bipartit tidak berhasil.
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase ini dilakukan dengan bantuan pihak ketiga yang disebut arbiter, di mana dalam hal ini arbiter tidak hanya berperan aktif dalam mencari solusi untuk menyelesaikan perselisihan tetapi juga memiliki hak memutus layaknya hakim pada pengadilan. Dan untuk lebih lengkapnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase ini akan dijabarkan pada subbab selanjutnya.

5.    Penyelesaian mellaui Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum, yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a.    di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b.    di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c.    di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d.   di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Meskipun Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) adalah badan peradilan yang berwenang khusus mengadili perkara hubngan industrial, namun posisinya berada di lingkungan peradilan umum, yakni Pengadilan Negeri dan bermuara di Mahkamah Agung. Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk pada Pengadilan Negeri di setiap ibukota provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan.
Selain wewenang absolut sebagaimana disebutkan di atas, dalam hal pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial juga harus memperhatikan kewenangan relatifnya, yang mana dalam hal ini gugatannya dimasukkan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja atau tempat perusahaan berada.[27]
Adapun hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang. Selain itu, dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang beperkara tidak dikenakan biaya
termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp150.000.000,00. Meskipun demikian, diakibatkan keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial yang hanya berada di ibukota provinsi menyebabkan biaya transportasi menjadi beban tersendiri bagi pekerja/buruh. Sebagai contoh di PHI Tanjung Pinang, untuk biaya transportasi dari Batam ke Tanjung Pinang yang ada di Pulau Karimun membutuhakn biaya pulang pergi Rp250.000,00, sedangkan setiap perkara membuthkan 9 sampai dengan 10 kali sidang (Rp250.000,00 x 10 = Rp2.500.000,00). Sudah barang tentu ini memberatkan pekerja/buruh, apalagi bagi mereka yang telah di-PHK.[28]
Dengan penggunaan Hukum Acara Perdata sebagai Hukum Acara dalam Pengadilan Hubungan Industrial, ini berarti bahwa para pihak pekerja/buruh yang menuntut keadilan melalui jalur litigasi ini memiliki kemungkinan yang sangat besar mendapat kesulitan karena harus membuat surat gugatan yang tidak mudah, dan lagi harus berhadapan dengan pengusaha yang jelas mampu membayar advokat di muka persidangan.
Seperti dijelaskan sebelumnya, Pengadilan Hubungan Industrial berpedoman pada Hukum Acara Perdata, yang mana ketentuan-ketentuan normatif sebagai sumber hukum beracara pengadilan ini masih bertebaran dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:
§  HIR (Herzienen Indonesisch Reglement), yaitu Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura;
§  RBg (Rechtsreglement Buitengewesten), yaitu Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah di luar Jawa dan Madura;
§  BW (Burgerlijke Wetboek voor Indonesia) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya tentang Pembuktian;
§  Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
§  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang diubah dengan Undang-Undang Nomor8 Tahun 2004 kemudian diubah untuk kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009. Serta
§  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.[29]
Seluruh peraturan perundang-undangan di atas akan saling mengisi untuk digunakan sebagai pedoman berperkara di Pengadilan Hubungan Industrial. Hanya beberapa saja yang diatur dalam UUPPHI seperti mengenai waktu penyelesaian yang dibatasi, biaya perkara yang gratis, dan adanya hakim ad hoc. Dan untuk selain itu berpedoman pada Hukum Acara Perdata pada Peradilan Umum.
Dalam hal putusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai perselisihan hak dan perselisihan PHK tidak dapat diterima oleh salah satu pihak, maka dapat pihak tersebutdapat mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung secara tertulis melalui Sub-Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.[30] Hal ini disebabkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial tidak mengenal lembaga banding ke Pengadilan Tinggi, tetapi langsung upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.


F.   Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Arbitrase
Dengan adanya era demokratisasi di segala bidang, maka perlu diakomodasi ketertiban masyarakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi maupun arbitrase. Pada umumnya, penyelesaian perselisihan melalui arbitrase telah diatur dalam Undang-UndangNomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa bisnis. Oleh karena itu, arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 (UUPPHI) merupakan aturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial, sesuai dengan asas lex specialis derogate legi generalis.[31]
Lembaga arbitrase di Indonesia dikenal sejak lama. Salah satu ketentuan yang merupakan sumber hukum dilaksanakannya arbitrase sebelum adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah ketentuan yang diatur dalam Pasal 337 Reglement Indonesia yang diperbarui (Her Herzienen Indonesisch Reglement, Stb. 1941;44) atau Pasal 705 Reglemen acara untuk daerah luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Stb 1927;227). Pengaturan tentang kelembagaannya diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Stb 1847;52) bagi semua golongan penduduk Hindia Belanda. Akan tetapi, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 seluruh ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.[32]
Sama halnya dengan konsiliasi, arbitrase hubungan industrial ini merupakan alternatif penyelesaian perselisihan selanjutnya akan ditempuh para pihak apabila upaya penyelesaian bipartit tidak menemukan hasil (gagal). Namun perselisihan hubungan industrial yang dapat diajukan kepada arbitrase hanya 2 (dua) jenis perselisihan, yaitu perselisihan hubungan industrial dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.[33]

1)   Pengertian Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrare (bahasa Latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan.[34] Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak yang dilakukan oleh pihak ketiga yang disebut arbiter dan para pihak menyatakan akan menaati putusan yang diambil oleh arbiter.[35]
Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 memberikan definisi arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sementara sebagai Undang-Undang yang bersifat khusus, ketentuan Pasal 1angka 15 Undang-Undang Nomor Tahun 2004 memberikan pengertian Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luarPengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Dan berikut Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa arbitrase dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 memiliki kekhususan terhadap penyelesaian perselisihan dalam hubungan industrail. Namun demikian, kedua Undang-Undang tersebut sama-sama mensyaratkan adanya kesepakatan tertulis untuk menyelesaikan sengketa arbitrase ini berkaitan dengan masalah yurisdiksi, sebab dengan adanya kesepakatan untuk menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase maka pengadilan sudah tidak berwenang lagi untuk menyelesaiakn perselisihan tersebut.[36]

2)   Persiapan Sidang Arbitrase
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, apabila para pihak memilih arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa, maka para pihak harus membuat surat perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase dibuat untuk menyelesaikan perselisihan (disputes settlement) untuk perselisihan kepentingan atau perselisihan antaraserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, yang dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak dan dinyatakan secara tertulis (must be in writing). Dengan demikian, apabila perjanjian arbitrase dibuat secara lisan dianggap perjanjian itu tidak pernah ada (never existed).[37] Menurut ketentuan Pasal 32 ayat (3) UUPPHI, surat perjanjian arbitrase sekurang-kurangnya harus memuat:
a.    nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
b.    pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;
c.    jumlah arbiter yang disepakati;
d.   pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase; dan
e.    tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih.
Secara teori, perjanjian arbitrase dapat dibuat sebelum terjadi perselisihan dan menyatu dengan perjanjian pokok (pactum de compromitendo). Misalnya dalam perjanjian kerja bersama yang dibuat antara serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha dicantumkan klausul arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari (future disputes). Pun demikian perjanjian arbitrase juga dapat dibuat setelah terjadinya perselisihan (acta compromi).[38] Dalam Undang-Undang sendiri ketentuan pembuatan perjanjian arbitrase ini tidak diperjelas secara rinci, sehingga hal ini memungkinkan dibuatnya perjanjian arbitrase sebelum maupun sesudah terjadinya perselisihan.
Apabila para pihak sudah menandatangani surat perjanjian arbitrase, mereka berhak memilih arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri. Penunjukan arbiter dapat dilakukan melalui arbiter tunggal ataupun beberapa orang arbiter (majelis) yang sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang, baik arbiter ad hoc atau arbiter institusional. Dalam hal para pihak tidak sepakat dalam menunjuk arbiter, penunjukan arbiter dilakukan oleh Ketua Pengadilan. Selanjutnya, arbiter yang ditunjuk harus membuat perjanjian
penunjukan arbiter dengan para pihak yang berselisih, dengan memuat ketentuan-ketentuan sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 34 ayat (2) UUPPHI dan sekurang-kurangnya rangkap tiga.
Arbiter yang telah ditunjuk tidak dan menandatangani surat penunjukan tidak dapat menarik diri tanpa persetujuan para pihak. Sementara, dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka sesuai kesepakatan para pihak harus menunjuk arbiter pengganti dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja. Arbiter pengganti tersebut harus membuat pernyataan kesediaan menerima hasil-hasil yang telah dicapai dan melanjutkan penyelesaian perkara. Artinya, arbiter pengganti terikat pada hasil arbiteryang digantikan, yaitu yang tercermin dalam risalah kegiatan penyelesaian perselisihan.[39]

3)   Pelaksanaan Sidang Arbitrase
Tata cara pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter diatur dalam ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 48 UUPPHI. Adapun asas pemeriksaan perselisihan hubungan industrial di muka arbiter dilakukan secara tertutup, kecuali para pihak yang berselisih berkehendak lain. Artinya, asas pemeriksaan secara tertutup tidak berlaku mutlak, tetapi dapat dikesampingkan apabila para pihak menghendakinya. Asas pemeriksaan secara tertutup ini bertolak belakang dengan asas pemeriksaan di muka sidang pengadilan, yaitu fair trial, di mana setiap tahapproses persidangan mesti dilakukan terbuka untuk umum. pemeriksaan secara tertutup dalam forum arbitrase bersifat konfidensial dan dilakukan dengan tujuan dan motivasi agar nama baik para pihak terjamin kerahasiaannya, sehingga pihak luar tidak tahu adanya perselisihan di antara para pihak.[40]
Untuk acara pemeriksaannya sendiri, arbiter memanggil para pihak yang berselisih untuk menghadap ke muka arbiter. Dalam hal ini para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus.  Apabila pada hari sidang para pihak atau kuasanya tanpa alasan yang sah tidak hadir meski telah dipanggil secara patut, maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter/majelis arbiter dinyatakan selesai. Namun apabila yang hadir hanya satu pihak saja, maka arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan tanpa hadirnya salah satu pihak atau kuasanya (verstek).
Dalam awal pemeriksaan yang dihadiri oleh kedua belah pihak sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 4 UUPPHI, penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. Apabila perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis arbiter, yang untuk selanjutnya didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian. Pendaftaran Akta Perdamaian tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a.    Akta Perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Akta Perdamaian;
b.    Apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Akta Perdamaian didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
c.    Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Akta Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Sebagaimana penjelasan di atas, dengan dibuatnya akta bukti pendaftaran ini menunjukkan bahwa Akta Perdamaian tersebut bersifat final dan mengikat (final and binding) serta mempunyai kekuatan eksekutorial (executorial kracht).[41] Di sisi lain, apabila para pihak tidak berhasil didamaikan, maka pemeriksaan dilanjutkan oleh arbiter dengan memberikan kesempatan yang sama bagi para pihak untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan tentang pendirian masing-masing serta mengajukan bukti-bukti untuk menguatkan pendiriannya. Arbiter juga berhak meminta penjelasan tambahan kepada para pihak atau adanya amandemen terhadap tuntutan, pembelaan serta pendirian para pihak.

4)   Putusan Arbitrase
Dalam hal arbiter menganggap pemeriksaan telah cukup, maka proses selanjutnya adalah pengambilan keputusan. Arbiter atau majelis arbiter yang telah memeriksa perselisihan antara kedua pihak menetapkan suatu putusan untuk menyelesaikan perselisihan yang diperiksa. Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum.[42] Ketentuan ini memberikan kebebasan kepada arbiter dalam mengambil putusan, tidak semata-mata berdasarkan peraturan perundang-undangan saja, tetapi juga berdasarkan perjanjian kebiasaan, keadilan, dan kepentingan umum. berbeda  dengan Pengadilan Hubungan Industrial yang tidak boleh mengambil putusan berdasarkan kepentingan umum. oleh karena itu, putusan arbiter dapat berbeda terhadap kasus yang sama dan putusan arbiter terdahulu tidak wajibdibuat sebagai rujukan bagi arbiter lain yang memeriksa perselisihan yang sama.[43]
Dalam Pasal 50 UUPPHI, suatu putusan yang dikeluarkan oleh arbiter harus memuat syarat formil dan mteriil tidak ubahnya putusan pengadilan, yang meliputi:
a.    kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b.    nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
c.    nama lengkap dan alamat para pihak;
d.   hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para pihak yang berselisih;
e.    ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para pihak yang berselisih;
f.     pertimbangan yang menjadi dasar putusan;
g.    pokok putusan;
h.    tempat dan tanggal putusan;
i.      mulai berlakunya putusan; dan
j.      tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.
Perlu diketahui pula bahwa dengan tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan, di mana alasan tentang tidak adanya tanda tangan tersebut harus dicantumkan dalam putusan. Putusan arbiter ini ditetapkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja harus sudah dilaksanakan oleh para pihak.
Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (in kracht van gewijsde) bagi para pihak yang berselisih, dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap (final and binding). Artinya, perselisihan yang sedang atau telah diselesaikna melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.[44] Dan untuk memperoleh putusan yang memiliki kekuatan hukum sama dengan putusan hakim, maka putusan dari arbiter perlu didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial untuk dikukuhkan. Sehingga apabila salah satu pihak ingkar terhadap putusan ini, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Hubungan Industrial. Atas permohonan eksekusi tersebut pengadilan selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima permohonan mengeluarkan perintah pelaksanaan eksekusi.

5)   Pembatalan Putusan Arbitrase
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, pada prinsipnya putusan arbiter bersifat final and binding sehingga tidak ada upaya hukum apapun bagi para pihak untuk memeriksa kembali perselisihan tersebut. Akan tetapi, dalam ketentuan Pasal 52 UUPPHI disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalan ke Mahkamah Agung oleh salah satu pihak selambat-lambatnya 30 hari kerja setelah putusan arbiter dijatuhkan. Hal ini dapat dilakukan jika diduga surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan dinyatakan tidak diakui atau dinyatakan palsu setelah putusan dijatuhkan. Atau karena sebab-sebab lain, seperti: a) ditemukan dokumen yang bersifat menentukan hasil putusan yang disembunyikan oleh pihak lawan; b) putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh pihak lawan; c) putusan melampaui kewenangan arbiter hubungan industrial; atau d) putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.[45]
Alasan-alasan tersebut bersifat limitatif, dengan pengertian sepanjang unsur tersebut tidak ditemukan dalam putusan arbiter maka putusan tidak dapat ditinjau atau dimintakan pembatalan. Kemudian, dalam hal permohonan pembatalan putusan arbitase dikabulkan oleh Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan tersebut baik seluruhnya atau sebagian. Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak menerima permohonan pembatalan.[46]
Selanjutnya mengenai tindakan arbiter yang diambil selama proses persidangan untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter, tindakan tersebut tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun kecuali dapat dibuktikan adanya iktikad tidak baik dalam tindakan tersebut.[47]


DAFTAR PUSTAKA

Asyhadie, Zaeni. 2007. Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Husni, Lalu. 2007. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan dan di Luar Pengadilan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sutedi, Adrian. 2009. Hukum Perburuhan. Jakarta: Sinar Grafika.
Ugo dan Pujiyo. 2011. Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial: Tata Cara dan Proses Penyelesaian Sengketa Perburuhan. Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.


[1] Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
[2] Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial: Tata Cara dan Proses Penyelesaian Sengketa Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 3.
[3] Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan dan di Luar Pengadilan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 21-22.
[4] Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial..., hlm. 24.
[5] Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial..., hlm. 24.
[6] Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 146..
[7] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
[8] Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara ..., hlm. 27-28.
[9] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
[10] Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara..., hlm. 33-34.
[11] Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial..., hlm. 45.
[12] Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
[13] Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial..., hlm. 46.
[14] Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara ..., hlm. 47.
[15] Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ..., hlm. 52.
[16] Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara ..., hlm. 53.
[17] Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 108.
[18] Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
[19] Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
[20] Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja..., hlm. 149-150.
[21] Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara..., hlm. 58.
[22] Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja..., hlm. 151.
[23] Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial..., hlm. 60.
[24] Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial..., hlm. 68.
[25] Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial..., hlm. 69.
[26] Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
[27] Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
[28] Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara..., hlm. 92.
[29] Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara..., hlm. 94-95.
[30] Pasal 111 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
[31] Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara..., hlm. 79.
[32] Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial..., hlm. 72-74.
[33] Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara..., hlm. 79.
[34] Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan..., hlm. 113.
[35] Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial..., hlm. 74.
[36] Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara..., hlm. 80.
[37] Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan..., hlm. 117.
[38] Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan..., hlm. 117.
[39] Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara..., hlm. 83.
[40] Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan..., hlm. 123.
[41] Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan..., hlm. 124.
[42] Pasal 49 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
[43] Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan..., hlm. 125.
[44] Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan..., hlm. 126.
[45] Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
[46] Pasal 52 dan 53 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
[47] Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara..., hlm. 86.

Komentar

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUMD DI KABUPATEN TULUNGAGUNG

PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA INDONESIA

Hukum Jaminan: PENGGOLONGAN JAMINAN