ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL
A. Pengertian
Hubungan Industrial
Hubungan
industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam
proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh
dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.[1]
Adapun Dr. Payaman J. Simanjutak, APU, sebagaimana dikutip oleh Ugo, S.H., M.H.
dan Pujiyo, S.H., mendefinisikan hubungan industrial adalah hubungan antara
semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi barang atau
pelayanan jasa disuatu perusahaan.[2]
Hubungan industrial bukan hanya sekadar manajemen organisasi
perusahaan yang akan dijalankan oleh seorang manajer, yang menempatkan
pekerjaan sebagai pihak yang selalu dapat diatur. Hubungan industrial meliputi
fenomena baik di dalam maupun di luar tempat kerja yang berkaitan dengan
penempatan dan pengaturan hubungan kerja.
Pengusaha/organisasi
pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial mempunyai fungsi menciptakan
kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja dan memberikan
kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka demokratis dan berkeadilan. Karena
hubungan kerja tidak hanya dilihat dari konteks hubungan antara pekerja dan
pengusaha maupun peraturan-peraturan ketenagakerjaan semata, tetapi juga tidak
dapat dipisahkan dari lingkungan sosial, ekonomi dan politik. Mengingat di dalamnya
mencakup konsep keadilan, kekuasaan, hak dan tanggung jawab.
Pada akhirnya, tujuan hubungan industrial adalah untuk meningkatkan
produktivtas dan kesejahteraan pekerja dan pengusaha. Tujuan ini saling
berkaitan dan terikat satu dengan lainnya yang berarti bahwa pengurangan terhadap
yang satu akan mempengaruhi yang lain. Peningkatan kesejahteraan pekerja hanya
layak jika produktivitas perusahaan meningkat.
Untuk
mencapai produktivitas yang diinginkan, semua pihak yang terlibat dalam proses
produksi terutama pengusaha perlu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif. Kunci
dari hubungan industrial yang dinamis dan aman itu adalah komunikasi. Sarana
komunikasi ini memerlukan perhatian yang serius. Faktor pendukung utama dalam
membangun komunikasi adalah interaksi yang positif antara pekerja dan
pengusaha, karena akan membantu menciptakan saling pengertian, pemahaman dan
kepercayaan yang pada akhirnya akan menciptakan hubungan industrial yang damai
di tempat kerja..
Berdasarkan pola hubungan antara buruh dan pengusaha ada tiga teori
yaitu:[3]
a.
Pola
hubungan yang harmonis; pola hubungan yang harmonis merupakan pola hubungan
industrial yang memiliki ciri-ciri yang menekankan stabilitas kerja.
b.
Pola
hubungan yang bersifat permusuhan; yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
-
para
pihak diberi kebebasan untuk menentukan berbagai ketentuan
perburuhan/ketenagakerjaan.
-
konsensus
yang dicapai merupakan hasil dari konflik yang terjadi antara pekerja dan
pengusaha.
-
adanya
jaminan penuh atas hak untuk melakukan mogok bagi kaum buruh yang tidak
berhasil menyelesaikan perselisihan perburuhan secara damai.
c.
Pola
hubungan koalisi, dengan ciri-ciri:
-
dalam
pola hubungan perburuhan koalisi para pihak tetap memiliki kebebasan.
pemerintah campus tangan melalui penciptaan institusi-institusi, untuk pilihan
a;ternatif guna menghindarkan penggunaan kebebasan secara berlebihan.
-
maksud
dari konsensus merupakan kehendak para pihak yang didorong oleh
intitusi-institusi yang dibentuk untuk itu.
Di Indonesia,
konsep hubungan industrial yang dianut adalah hubungan industrial Pancasila yang lahir dari hasil lokakarya nasional
yang diselenggarakan dari tanggal 4 sampai 7 Desember 1974 dan diikuti oleh
wakil dari organisasi buruh/pekerja, organisasi pengusaha, wakil pemerintah dan
unsur perguruan tinggi. Hubungan Industrial Pancasila menganut prinsip
kemitraan antara pekerja dan pengusaha yakni:[4]
a.
pekerja
dan pengusaha merupakan teman seperjuangan dalam proses produksi yang berarti
keduanya wajib bekerja sama serta saling membantu dalam kelancaran usaha dengan
meningkatkan kesejahteraan dan menaikan produksi.
b.
pekerja
dan pengusaha sama dalam membagi keuntungan yang berarti keuntungan yang
diterimperusahaan harus juga dapat dinikamti oleh pekerja dengan meningkatkan
kesejahteraannya.
c.
pekerja
dan pengusaha merupakan teman seperjuangan dalam bertanggung jawab.
B. Ruang
Lingkup Sengketa/Perselisihan
Pengertian
perselisihan atau disebut juga dengan konflik adalah situasi di mana dua atau
lebih pihak-pihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat
dipersatukan dan di mana tiap-tiap pihak mencoba menyakinkan pihak lain
mengenai kebenaran tujuan masing-masing. Dalam pengertian lain, konflik dapat
dimaknai sebagai suatu kondisi di mana pihak yang satu menghendaki agar pihak
yang lain berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan yang diinginkan, tetapi
pihak lain menolak keinginan itu.
Suatu keadaan dapat dikatakan sebagai perselisihan atau konflik
apabila memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur dari konflik/perselisihan adalah:
a.
adanya
pihak-pihak
b.
tujuan
yang berbeda yakni pihak yang satu menghendaki agar pihak yang lain
berbuat/bersikap sesuai dengan yang dikehendakinya.
c.
pihak
yang lain menolak keiinginan tersebut atau keinginan itu tidak dapat
dipersatukan.
Secara
umum, suatu konflik yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor yakni:
a.
Konflik
Data
Konflik ini dapat terjadi karena kekurangan informasi, kesalahan
informasi, adanya perbedaan pandangan, perbedaan interprestasi/penafsiran
terhadap data. Data merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan perbuatan
hukum, karena jika tidak akan berakibat fatal dalam mengambil keputusan.
b.
Konflik
Kepentingan
Dalam melakukan suatu aktivitas, seseorang memiliki
kepentinagn-kepentingan. kepentinagn inilah yang memotivasi seseorang untuk berinteraksi
satu dengan lainnya. Dalam hal ini konflik kepentingan dapat terjadi karena
beberapa hal yakni:
-
adanya
perasaan bersaing
-
adanya
kepentinagn subtansial dari para pihak
-
adanya
kepentinagn prosedur
-
adanya
kepentinagn psikologi
c.
Konflik
Hubungan
Konflik hubungan dapat terjadi karena adanya kadar emosi yang kuat,
adanya kesalahan persepsi, miskin komunikasi ataui kesalahan komunikasi, dan
tingkah laku negatif yang berulang-ulang.
d.
Konflik
Struktur
Konflik ini terjadi karena adanya pola yang merusak perilaku atau
interaksi, kontrol yang tidak sama, kepemilikian atau distribusi sumber daya
yang tidak sama,adanya kekuasaan dan kekuatan atau faktor lingkungan yang
menghalangi kerja sama, serta kurangnya waktu yang tersedia.
e.
Konflik
Nilai
Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan kriteria evaluasi
pendapat atau perilaku, adanya penilaian sendiri tanpa memperlihatkan penilaian
orang lain. untuk menghindari konflik ini para pihak harus menghinbdari
permasalahan nilai, mengizinkan para
pihak untuk menyetujui atau tidak menyetujui, menciptakan lingkungan berpengaruh
dengan satu nilai yang dominan dan melakukan penelitian untuk mnecari hasil di
mana semua pihak mendapat bagian.[5]
Konflik
harus segera diselesaikan ahgara tidak mempunyai dampak yang meluas, langkah-langkah
yang dapat ditempuh adalah:
a.
bersikap
tenang;
b.
pilih
pendekatan yang tebaik yang dapat diterima oleh para pihak;
c.
tentukan
waktu dan lakukan musyawarah serta putuskan pihak-pihak yang akan dilibatkan;
d.
cari
orang atau pihak lain untuk membantu menyel;esaikan konflik;
e.
bersama-sama
memahami masalah dan kepentingan yang terdapat pada konflik tersebut; dan
f.
mengevaluasi
keefektivan proses penyelesaian dan solusinya.
C. Pengertian
Perselisihan Hubungan Industrial
Perselisihan
hubungan industrial disebut dengan perselisihan perburuhan sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957, adalah pertentangan
antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabunagn
serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan
kerja, dengan syarat-syarat kerja, dan/atau keadaan perburuhan. Bertolak dari
pengertian di atas para sarjana sepakat bahwa ada dua jenis perselisihan
perburuhan yaitu perselisihan hak dan perselisihan kepentingan.
Kemudian
menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957, perselisihan hanya bisa terjadi antara
pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh saja. Pekerja atau buruh secara
perorangan tidak bisa menjadi pihak yang berselisih, namun dalam praktiknya
malah yang sering kali berselisih adalah pengusaha dengan pekerja/buruh perorangan.
Oleh karena itu, Undang-Undang ini dirasakan tidak sesuai lagi, lalu dicabut
dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.[6]
Secara
tidak langsung Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 sebetulnya serupa dengan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 yang sama-sama mengenal penyelesaian secara
wajib dan penyelesaian secara sukarela. Penyelesaian secara wajib harus dimulai
dengan musyawarah mufakat antara pihak yang berselisih (bipartite). Kemudian
kalau tidak selesai, baru dilanjutkan ke pegawai perantara di kantor yang
bertanggung jawab di bidang ketenakerjaan dan seterusnya ke panitia penyelesaian
perselisihan perburuhan daerah dan pusat, sedangkan penyelesaian secara
sukarela adalah melalui seorang juru atau dewan pemisah yang disebut dengan
arbitrase.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, penyelesaian secara wajib
juga dimulai dengan bipartite (perundingan antara kedua belah pihak yang
berselisih), kalau perundingan tersebut tidak selesai, baru dilanjutkan secara
mediasi oleh seorang mediator yang ada di kantor yang bertanggungjawab di
bidang ketenagakerjaan. Kalau tidak selesai, salah satu pihak dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Sementara itu, penyelesaian sukarela
adalah melalui konsiliator dan arbiter yang dapat dipilih berdasarkan
kesepakatan para pihak.
D. Jenis-jenis
Perselisihan Hubungan Industrial
Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
membagi perselisihan hubungan industrial menjadi empat, yaitu:
1. Perselisihan Hak
Perselisihan hak adalah
perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan
pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[7]
Berdasarkan
pengertian di atas, maka perselisihan hak merupakan suatu kejadian di mana hak
salah satu pihak yang sudah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, tidak
didapatkannya. Oleh sebab itu, maka pihak yang haknnya dilanggar tersebut
berhak untuk menuntut terhadap pihak yang merugikan, dengan alasan berdasarkan
perselisihan hak.
Perselisihan hak juga disebut
sebagai perselisihan normatif, yaitu perselisihan tentang hal-hal yang telah
diatur atau telah ada dasar hukumnya. Meskipun telah diatur, tidak jarang para
pihak melanggarnya, pihak yang melanggar kadangkala menganggap pihak yang lain
(pekerja/buruh) dapat dilanggar dengan segala macam alasan dengan argumentasi
sekehendak mereka sendiri, sehingga pihak pekerja dirugikan haknnya (bisa juga
sebaliknya. Perbedaan penafsiran terjadi karena tidak tegasnya
batasan/penjelasan dalam peraturan dan atau adanya perbedaan penilaian atas
suatu fakta hukum.[8]
Contoh
kasus: Ratusan Karyawan PT Atrika Optima Inti Unjuk Rasa
Sekitar
500 karyawan PT Atrika Optima Inti (AOI) pada tanggal 15 Maret 2007. Massa
demonstran langsung menuju gedung DPRD Provinsi Maluku, mereka membentangkan
spanduk dan pamphlet lalu berorasi di hadapan ketua DPRD Maluku. Dalam
orasinya, mereka menuntut pembayaran gaji karyawan yang ditunggak PT AOI sejak
Juni 2006. Selain itu, mereka juga menuntuk hak-hak normatif lainnya yang
diabaikan oleh perusahaan kayu lapis tersebut, seperti uang transport,
kesehatan dan jamsostek. Karena gajinya ditunggak 8 bulan, mereka menilai
perusahaan tidak fair. Padahal bila
karyawan melakukan kesalahan otomatis karyawan terkena sanksi, tetapi kelalaian
perusahaan tidak mendapat sanksi apa-apa.
2.
Perselisihan
Kepentingan
Perselisihan kepentingan
adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.[9]
Dari
pengertian di atas, maka perselisihan kepentingan adalah perselisihan terhadap
hal-hal/masalah-masalah yang belum diatur dalam perjanjian kerja, atau
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan kepentingan
merupakan perselisihan dalam hal membuat/merubah suatu peraturan antara
pengusaha, yang mana peraturan tersebut akan diberlakukan di dalam perusahaan.
Perjanjian kerja adalah
perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak (Pasal 1 angka 14).
Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, perjanjian
kerja dibuat atas dasar:
a.
Kesepakatan kedua belah pihak
b.
Kemampuan atau kecakapan
melakukan perbuatan hukum
c.
Adanya pekerjaan yang
diperjanjikan
d.
Pekerjaan yang diperjanjikan
tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Di dalam hukum perjanjian
syarat-syarat huruf a dan b di atas adalah syarat subjektif suatu perjanjian,
yang mana syarat tersebut dapat dibatalkan oleh salah satu pihak apabila salah
satu pihak merasa keberatan. Sedangkan syarat-syarat dalam huruf c dan d adalah
syarat objektif yang mana perjanjian kerja yang dibuat apabila bertentangan
dengan ketentuan tersebut, maka perjanjian tersebut batal demi hukum artinya
dianggap tidak pernah ada perjanjian kerja.
Perbedaan antara perselisihan
hak dan perselisihan kepentingan adalah:
a.
Perselisihan hak, objek
sengketanya adalah tidak dipenuhi hak yang telah ditentukan.
b.
Perselisihan kepentingan
objek sengketanya adalah tidak adanya keksesuaian paham/pendapat mengenai
pembuatan/perubahan syarat-syarat kerja dalam perjanjian kerja bersama.[10]
Dengan kata lain, dalam
perselisihan hak yang dilanggar adalah hukumnya, baik yang ada dalam peraturn perundang-undangan,
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Sedangkan dalam perselisihan kepentingan menyangkut pembuatan hukum dan atau perubahan terhadap substansi hukum
yang sudah ada.[11]
Contoh
kasus: Pekerja Karoseri Mayasari Mogok Kerja
Sekitar
180 pekerja Karoseri, perusahaan organda Mayasari Grup berdemonstrasi di Kantor
Unit Karoseri Mayasari, Cibubur, Jakarta Timur. Tujuan unjuk rasa ini untuk
menuntut perbaikan upah serta pembaharuan perjanjian kerjasama. Sudah dua tahun
karyawan tidak mendapat upah jaminan sosial tenaga kerja dan beberapa karyawan
dibayar di bawah UMR. Serta mengenai perjanjian kerjasama, persoalan cuti
diminta oleh pengunjuk rasa untuk segera dibuat aturan.
3.
Perselisihan
Pemutusan Hak Kerja (PHK)
Perselisihan pemutusan
hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian
pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu
pihak.[12]
Perselisihan mengenai HPK
selama ini paling banyak terjadi karena tindakan PHK yang dilakukan oleh satu
pihak dan pihak lain tidak dapat menerimanya. PHK dapat terjadi atas inisiatif
dari pihak pengusaha maupun pekerja. Dari pengusaha dilakukan karena
buruh/pekerja melakukan berbagai pelanggaran. Demikian sebaliknya PHK juga
dapat dilakukan atas permohonan buruh/pekerja karena pihak pengusaha tidak
melaksanakan kewajiban yang telah disepakati atau berbuat sewenang-wenang
kepada buruh/pekerja.[13]
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan telah mengatur mengenai tata cara PHK serta dasar-dasar
yang dapat dijadikan alasan PHK termasuk larangan bagi pengusaha untuk
melakukan PHK dengan alasan:
a. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja
karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak
melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. Pekerja/buruh
berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Pekerja/buruh
menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. Pekerja/buruh
menikah;
e. Pekerja/buruh
perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. Pekerja/buruh
mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh
lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. Pekerja/buruh
mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh,
pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam
kerja, atau di dalam
jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. Pekerja/buruh
yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang
melakukan tindak pidana kejahatan;
i. Karena
perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi
fisik, atau status perkawinan;
j. Pekerja/buruh
dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan
kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya
belum dapat dipastikan.
Pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud di atas batal
demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang
bersangkutan.
Dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga mengatur alasan
yang memberikan kewenangan kepada pengusaha untuk melakukan PHK terhadap
pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan besar yaitu:
a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau
uang milik perusahaan;
b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga
merugikan perusahaan;
c. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan
kerja;
d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman
sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan
bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau
pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Terhadap
pekerja yang terbukti melakukan kesalahan berat seperti tersebut di atas,
kepadanya tidak diberikan uang pesangon. Namun demikian, pekerja yang
bersangkutan berhak mendapatkan uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian.
Salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam kaitannya dengan kasus
PHK yag diajukan ke Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial adalah
pengadilan tidak berfungsi sebagai lembaga pemberi izin PHK, tapi menilai apakah PHK yang
dilakukan oleh para pihak telah sesuai dengan hukum atau tidak, termasuk
hak-hak yang diperoleh sebagai akibat dari PHK tersebut.
Selain
kewenangan PHK yang datang dari pengusaha, pekerja/buruh dapat mengajukan
permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
a. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama
3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/
buruh;
e. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar
yang diperjanjikan; atau
f. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,
kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak
dicantumkan pada perjanjian kerja.
Dalam hal
pemutusan hubungan kerja terjadi berdasarkan alasan sebagaimana disebutkan di
atas, pekerja berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dang anti
kerugian.
4. Perselisihan
Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Berdasarkan
Pasal 1 angka 5 UU Nomor 2 Tahun 2004, perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh adalah perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dengan serikat
pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban
keserikat pekerja.
Berdasarkan
pengertian tersebut, berarti bahwa di dalam sebuah perusahaan bisa saja
terdapat beberapa serikat pekerja/buruh. Hal ini dimungkinkan karena Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh memberikan kemudahan
dalam pembentukan serikat pekerja/buruh dalam perusahaan. Di dalam Pasal 5 ayat
(2)-nya menentukan bahwa pendirian organisasi buruh sudah dapat dilakukan
apabila mempunyai 10 orang anggota.[14]
Dengan
jumlah yang cukup besar dan diperkirakan akan terus meningkat, dalam melakukan
aktivitasnya SP/SB tersebut akan sangat berpotensi untuk melahirkan konflik
antara satu dengan yang lian, khususnya dalam perundingan pembuatan perjanjian
kerja bersama denga pengusaha. Serikat buruh yang satu mengklaim bahwa dirinya
yang berwenang membuat perjanjian tersebut dengan pihk pengusaha, sementara
serikat pekerja/serikat buruh lainnya juga mengatakan hal yang sama. Kasus
serupa juga dapat terjadi berkaitan dengan masalah keanggotaan dari
masing-masing serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.[15]
Untuk
itu, Undang-Undang telah memberikan tempat sebagai wadah undtuk menyelesaikan
apabila terjadi perselisihan di antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan tersebut.
Contoh kasus: PT
Dirgantara Indonesia (PT DI)
Ada
tiga organisasi buruh yaitu Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan (SP FKK),
Serikat Karyawan CN 235 (SEKAR CN 235), dan Serikat Karyawan Dirgantara
Indonesia (SK DI). Konflik antar serikat pekerja tersebut gara-gara kebijakan
manajemen.
Tanggal
11 Juli 2003, PT DI merumahkan 9.600 karyawannya tanpa sosialisasi terlebih
dahulu. Padahal sedang berlangsung penyusunan pembaruan Perjanjian Kerja
Bersama. Implementasi kebijakan pengrumahan karyawan ini disertai penutupan
semua pintu masuk kompleks PT DI, sehingga kantor SP FKK yang berada di lokasi
perusahaan ikut tutup. Kebijakan pengrumahan ini dilanjutkan dengan PHK
terhadap 6.561 orang orang dari 9.600 karyawan. Namun di pihak lain, ada
sebanyak 3.100 karyawan yang dipanggil untuk bekerja kembali. Proses penentuan
karyawan yang dipanggil bekerja kembali dianggap diskrimintif oleh karyawan
lain yang tidak dipanggil. Bahkan menimbulkan konflik horizontal antara tiga
serikat buruh dalam perusahaan tersebut karena dua serikat buruh yaitu SKDI dan
SK CN 235 dianggap berpihak kepada manajemen oleh SK FKK. Konflik horizontal
antara serikat pekerja ini telaha menelan korban antara lain, pengrusakan
barang-barang, penghinaan, dan penganiayaan.
Kasus
konflik horizontal antarserikat pekerja di PT DI ini tergolong sangat kompleks
terkait dengan banyaknya faktor dan permasalahan yang melibatkan Dewan Direksi,
Serikat Karyawan dan Pekerja. Sedangkan permasalahannya meliputi soal
kepentingan, hak, dan PHK.
E.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Pada dasarnya, adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) telah memberikan suatu
cara untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di dalam hubungan
antara pekerja dengan pengusaha, atau lebih dikenal dengan hbungan industrial.
Penyelesaian tersebut telah diatur sedemikian rupa, sehingga setiap
perselisihan dapat diselesaikan hanya dalam waktu tidak lebih dari 140 hari,
yang meliputi: bipartit 30 hari kerja, mediasi/konsiliasi/arbitrase 30 hari
kerja, pengadilan hubungan industrial 50 hari kerja, dan Mahkamah Agung 30 hari
kerja.[16]
Proses penyelesaian perselisihan ini juga dapat ditempuh dalam waktu kurang
dari 30 hari apabila perselesihan mencapai kesepakatan atau damai pada
perundingan bipartit.
Adapun menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, proses penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dapat ditempuh melalui 3 (tiga) tahap:
a.
Tahap pertama : perundingan
bipartit;
b.
Tahap kedua : penyelesaian di
luar pengadilan, yaitu mediasi, konsiliasi ataupun arbitrase;
c.
Tahap ketiga : penyelesaian
melalui pengadilan.
Secara garis besar, penyelesaian perselisihan
hubungan industrial sebagaimana dijabarkan dalam tahapan-tahapan di atas
merupakan satu kesatuan. Akan tetapi, apabila diuraikan tahapan-tahapan
tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu secara bipartit dan tripartit.
Bipartit artinya diselesaikan tanpa melibatkan pihak ketiga, sementara
tripartit diartikan dengan penyesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga.
Cara penyelesaian sengketa dengan tripartit sendiri dapat ditempuh melalui
jalur non-litigasi, seperti mediasi, konsiliasi dan arbitrase maupun jalur litigasi (pengadilan).
1.
Penyelesaian
melalui Bipartit (Negosiasi)
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah
melalui jalan musyawarah mufakat tanpa ikut campur dari pihak lain. Menurut
ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang PPHI, yang dimaksud dengan perundingan
bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial. Sementara dalam kepustakaan mengenai Alternative Dispute Resolution (ADR), penyelesaian secara bipartit disebut
sebagai penyelesaian secara negosiasi. Kata negosiasi berasal dari bahasa
Inggris “negotiation” yang berarti perundingan atau musyawarah.
Secara umum negosiasi berarti upaya penyelesaian sengketa oleh para pihak
dengan tanpa melibatkan pihak lain dengan tujuan mencari kesepakatan bersama
atas dasar kerja sama yang harmonis dan kreatif.
Penyelesaian bipartit dilakukan agar perselisihan
dapat dilaksanakan secara kekeluargaan, yang diharapkan masing-masing pihak
tidak merasa ada yang dikalahkan atau dimenangkan, karena penyelesaian bipartit
bersifat mengikat.[17]
Penyelesaian ini dilakukan terhadap semua perselisihan hubungan, di mana cara
ini sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Karena dalam
penyelesaian ini tidak melibatkan pihak ketiga sehingga nama baik kedua belah
pihak masih terjaga, berbeda apabila perselisihan diselesaikan melalui suatu
lembaga atau bahkan sampai ke pengadilan. Selain itu, penyelesaian perselisihan
dengan jalan musyawarah ini juga diharapkan dapat menekan biaya dan menghemat
waktu. Itulah sebabnya dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 menegaskan bahwa perselisihan
hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui
perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai
mufakat.
Dalam penyelesaian hubungan industrial melalui
bipartit, Undang-Undang memberikan waktu paling lama 30 hari kerja sejak
tanggal dimulainya perundingan.[18]
Dan apabila dalam jangka waktu tersebut salah satu pihak menolak untuk berunding atau
telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka
perundingan bipartit dianggap gagal.
Perundingan
tersebut harus dibuat dalam bentuk suatu risalah yang harus ditandatangani oleh
kedua belah pihak. Risalah tersebut antara lain harus memuat:
a)
Nama lengkap dan alamat para pihak
b)
Tanggal dan tempat perundingan;
c)
Pokok masalah atau alasan perselisihan;
d)
Pendapat para pihak;
e)
Kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f)
Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.[19]
Para pihak setelah melakukan perundingan
bipartit, maka akan ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu tercapai kesepakatan dan
tidak tercapai kesepakatan (gagal). Jika perundingan tersebut mencapai
kesepakatan, hasil perundingan harus dituangkan ke dalam suatu perjanjian
bersama yang ditandatangani oleh para phak. Perjanjian Bersama (PB) tersebut,
sebagaimana ketentuan Pasal 1385 KUH Perdata akan mengikat para pihak
sebagaimana undang-undang, dan menurut Pasal 7 ayat (2) UUPPHI Perjanjian
Bersama tersebut menjadi hukum yang wajib dilaksanakan oleh kedua belah pihak.[20]
Untuk itu, Perjanjian Bersama tersebut harus didaftarkan ke Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan perjanjian
guna mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran Perjanjian Bersama. Akta tersebut
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.[21]
Dalam hal Perjanjian Bersama tidak
dilaksanakan oleh salah satu pihak, pihak yang dirugikan dapat mengajukan
eksekusi ke Pengadilan Hubungan Industrial di mana Perjanjian Bersama itu
didaftarkan.
Sebaliknya, apabila proses perundingan
tersebut gagal (tidak mencapai hasil), maka salah satu pihak atau kedua belah
pihak dapat mencatatkan perselisihan tersebut ke instansi yang bertangging
jawab di bidang ketenagakerjaan dengan melampirkan bukti risalah penyelesaian
secara bipartit. Dan jika risalah ini tidak dilampirkan, maka pihak instansi
akan mengembalikan berkas untuk dilengkapi dengan jangka waktu maksimal 7
(tujuh) hari sejak tanggal pengembalian. Selanjutnya, instansi terkait akan
menawaran konsiliasi atau arbitrase dalam penyelesaian perselisihan. Namun
apabila para pihak tidak menetapkan pilihan, maka penyelesaiannya akan
dilimpahkan ke mediator.[22]
2.
Penyelesaian melalui Mediasi
Penyelesaian melalui mediasi (mediation)
ini dilakukan melalui seorang penengah yang disebut mediator. Mediasi adalah
intervensi terhdap suatu sengketa oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak
berpihak dan netral serta membantu para pihak yang berselisih mencapai
kesepakatan secara sukarela terhadap permasalahan yang disengketakan.[23]
Ketentuan Pasal 1 angka 11 UUPPHI menyebutkan
bahwa Mediasi Hubungan
Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan
hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
Sedangkan Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah
pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk
bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis
kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi mediator tersebut
tertuang dalam ketentuan Pasal 9 UUPPHI.
Setelah menerima pelimpahan, dalam waktu
selambat-lambatnya tujuh hari kerja mediator harus telah mempelajari pokok
perkara dan segera mempertemukan kedua belah pihak untuk mengadakan
perundingan. Mediator juga dapat memanggil saksi ataupun saksi ahli guna
dimintai keterangannya. Apabila mediasi ini berhasil mencapai kesepakatan, maka
harus dituangan dalam Perjanjian Bersama dan didaftarkan ke Pengadilan Hubungan
Industrial terkait. Namun jika mediasi ini gagal, maka mediator akan memberikan
anjuran tertulis kepada para pihak untuk dipertimbangkan. Anjuran yang
ditanggapi oleh para pihak dinyatakan mediasi berhasil dan dibuat Perjanjain
Bersama, sedangkan yang tidak ditanggapi dinyatakan gagal. Pada keadaan mediasi
tidak mencapai hasil (gagal) inilah para pihak dapat membuat persetujuan
tertulis untuk menyelesaikan perselisihan melalui lembaga arbitrase.
3.
Penyelesaian melalui Konsiliasi
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 13 UUPPHI disebutkan
bahwa Konsiliasi Hubungan
Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah
yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Sedangkan yang
dimaksud Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator
adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator
ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.
Penyelesaian melalui konsiliasi (conciliation)
ini dilakukan melalui seorang atau beberapa orang atau badan sebagai penengah
yang disebut konsiliator dengan mempertemukan atau memberikan fasilitas kepada
phak-pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihannya secara damai.[24]
Dalam hal ini konsiliator ikut berperan aktif dalam memberikan solusi terkait
permasalahan yang dihadapi. Konsiliator ini merupakan pihak ketiga di luar
pegawai pada instansi yang bertangging jawab di bidang ketenagakerjaan. Hal ini
berbeda dengan mediator pada upaya penyelesaian sengketa sebelumnya, dengan
alasan jangan sampai timbul monopoli kewenangan atau meragukan kemampuan
konsiliator untuk menangani perselisihan hak maupun hukum.[25]
Padahal syarat untuk menjadi konsiliator selain memiliki pengalaman minimal 5
tahun di bidangnya, juga harus menguasai peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan.[26]
Cara penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui konsiliasi ini tidak jauh berbeda dengan penyelesaian secara
mediasi, hanya saja dalam penyelesaian ini pihak ketiga (konsiliator) lebih
berperan aktif dalam upaya penyelesaian perselisihan. Berbeda dengan mediator
yang lebih bersikap pasif.
4.
Penyelesaian melalui Arbitrase
Sebagaimana upaya penyelesaian
perselisihan sebelumnya, arbitrase merupakan salah satu upaya penyelesaian
sengketa yang dapat ditempuh oleh para pihak yang berselisih dalam hal hubungan
industrial apabila penyelesaian perselisihan secara bipartit tidak berhasil.
Penyelesaian perselisihan melalui
arbitrase ini dilakukan dengan bantuan pihak ketiga yang disebut arbiter, di
mana dalam hal ini arbiter tidak hanya berperan aktif dalam mencari solusi
untuk menyelesaikan perselisihan tetapi juga memiliki hak memutus layaknya
hakim pada pengadilan. Dan untuk lebih lengkapnya penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui arbitrase ini akan dijabarkan pada subbab
selanjutnya.
5.
Penyelesaian mellaui Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah
Agung
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan
khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum, yang bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus:
a.
di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b.
di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c.
di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d.
di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Meskipun Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) adalah
badan peradilan yang berwenang khusus mengadili perkara hubngan industrial,
namun posisinya berada di lingkungan peradilan umum, yakni Pengadilan Negeri
dan bermuara di Mahkamah Agung. Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk pada
Pengadilan Negeri di setiap ibukota provinsi yang daerah hukumnya meliputi
provinsi yang bersangkutan.
Selain wewenang absolut sebagaimana disebutkan di
atas, dalam hal pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial juga harus
memperhatikan kewenangan relatifnya, yang mana dalam hal ini gugatannya
dimasukkan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja atau tempat perusahaan
berada.[27]
Adapun hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan
Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang.
Selain itu, dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial,
pihak-pihak yang beperkara tidak dikenakan biaya
termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp150.000.000,00. Meskipun demikian, diakibatkan keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial yang hanya berada di ibukota provinsi menyebabkan biaya transportasi menjadi beban tersendiri bagi pekerja/buruh. Sebagai contoh di PHI Tanjung Pinang, untuk biaya transportasi dari Batam ke Tanjung Pinang yang ada di Pulau Karimun membutuhakn biaya pulang pergi Rp250.000,00, sedangkan setiap perkara membuthkan 9 sampai dengan 10 kali sidang (Rp250.000,00 x 10 = Rp2.500.000,00). Sudah barang tentu ini memberatkan pekerja/buruh, apalagi bagi mereka yang telah di-PHK.[28]
termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp150.000.000,00. Meskipun demikian, diakibatkan keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial yang hanya berada di ibukota provinsi menyebabkan biaya transportasi menjadi beban tersendiri bagi pekerja/buruh. Sebagai contoh di PHI Tanjung Pinang, untuk biaya transportasi dari Batam ke Tanjung Pinang yang ada di Pulau Karimun membutuhakn biaya pulang pergi Rp250.000,00, sedangkan setiap perkara membuthkan 9 sampai dengan 10 kali sidang (Rp250.000,00 x 10 = Rp2.500.000,00). Sudah barang tentu ini memberatkan pekerja/buruh, apalagi bagi mereka yang telah di-PHK.[28]
Dengan penggunaan Hukum Acara Perdata sebagai Hukum
Acara dalam Pengadilan Hubungan Industrial, ini berarti bahwa para pihak
pekerja/buruh yang menuntut keadilan melalui jalur litigasi ini memiliki
kemungkinan yang sangat besar mendapat kesulitan karena harus membuat surat
gugatan yang tidak mudah, dan lagi harus berhadapan dengan pengusaha yang jelas
mampu membayar advokat di muka persidangan.
Seperti dijelaskan sebelumnya, Pengadilan Hubungan
Industrial berpedoman pada Hukum Acara Perdata, yang mana ketentuan-ketentuan
normatif sebagai sumber hukum beracara pengadilan ini masih bertebaran dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:
§
HIR (Herzienen Indonesisch Reglement), yaitu Hukum Acara Perdata
yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura;
§
RBg (Rechtsreglement Buitengewesten), yaitu Hukum Acara Perdata
yang berlaku untuk daerah di luar Jawa dan Madura;
§
BW (Burgerlijke Wetboek voor Indonesia) atau Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, khususnya tentang Pembuktian;
§
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
§
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang diubah
dengan Undang-Undang Nomor8 Tahun 2004 kemudian diubah untuk kedua kali dengan
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009. Serta
§
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.[29]
Seluruh peraturan perundang-undangan di atas akan
saling mengisi untuk digunakan sebagai pedoman berperkara di Pengadilan
Hubungan Industrial. Hanya beberapa saja yang diatur dalam UUPPHI seperti
mengenai waktu penyelesaian yang dibatasi, biaya perkara yang gratis, dan
adanya hakim ad hoc. Dan untuk selain itu berpedoman pada Hukum Acara
Perdata pada Peradilan Umum.
Dalam hal putusan Pengadilan Hubungan Industrial
mengenai perselisihan hak dan perselisihan PHK tidak dapat diterima oleh salah
satu pihak, maka dapat pihak tersebutdapat mengajukan permohonan kasasi ke
Mahkamah Agung secara tertulis melalui Sub-Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.[30]
Hal ini disebabkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
Pengadilan Hubungan Industrial tidak mengenal lembaga banding ke Pengadilan
Tinggi, tetapi langsung upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.
F.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Arbitrase
Dengan
adanya era demokratisasi di segala bidang, maka perlu diakomodasi ketertiban
masyarakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui
konsiliasi maupun arbitrase. Pada umumnya, penyelesaian perselisihan melalui
arbitrase telah diatur dalam Undang-UndangNomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa bisnis.
Oleh karena itu, arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 (UUPPHI) merupakan aturan khusus bagi penyelesaian sengketa
di bidang hubungan industrial, sesuai dengan asas lex specialis derogate
legi generalis.[31]
Lembaga
arbitrase di Indonesia dikenal sejak lama. Salah satu ketentuan yang merupakan
sumber hukum dilaksanakannya arbitrase sebelum adanya Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 adalah ketentuan yang diatur dalam Pasal 337 Reglement Indonesia
yang diperbarui (Her Herzienen Indonesisch Reglement, Stb. 1941;44) atau Pasal 705 Reglemen
acara untuk daerah luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Stb 1927;227). Pengaturan
tentang kelembagaannya diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen
Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Stb 1847;52) bagi semua
golongan penduduk Hindia Belanda. Akan tetapi, dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 seluruh ketentuan tersebut dinyatakan tidak
berlaku lagi.[32]
Sama
halnya dengan konsiliasi, arbitrase hubungan industrial ini merupakan
alternatif penyelesaian perselisihan selanjutnya akan ditempuh para pihak apabila
upaya penyelesaian bipartit tidak menemukan hasil (gagal). Namun perselisihan
hubungan industrial yang dapat diajukan kepada arbitrase hanya 2 (dua) jenis
perselisihan, yaitu perselisihan hubungan industrial dan perselisihan
antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.[33]
1)
Pengertian Arbitrase
Istilah
arbitrase berasal dari kata arbitrare (bahasa Latin) yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan.[34]
Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan
kesepakatan para pihak yang dilakukan oleh pihak ketiga yang disebut arbiter dan para pihak menyatakan akan menaati putusan yang diambil oleh
arbiter.[35]
Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
memberikan definisi arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Sementara sebagai Undang-Undang yang bersifat khusus, ketentuan
Pasal 1angka 15 Undang-Undang Nomor Tahun 2004 memberikan pengertian Arbitrase
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian
suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan, di luarPengadilan Hubungan Industrial
melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan
penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan
bersifat final. Dan berikut Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya
disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan
putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan
penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan
bersifat final.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa arbitrase dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 memiliki kekhususan terhadap penyelesaian
perselisihan dalam hubungan industrail. Namun demikian, kedua Undang-Undang
tersebut sama-sama mensyaratkan adanya kesepakatan tertulis untuk menyelesaikan
sengketa arbitrase ini berkaitan dengan masalah yurisdiksi, sebab dengan adanya
kesepakatan untuk menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase maka pengadilan
sudah tidak berwenang lagi untuk menyelesaiakn perselisihan tersebut.[36]
2)
Persiapan Sidang Arbitrase
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, apabila para pihak memilih arbitrase sebagai
alternatif penyelesaian sengketa, maka para pihak harus membuat surat perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase dibuat untuk menyelesaikan
perselisihan (disputes settlement) untuk perselisihan kepentingan atau
perselisihan antaraserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, yang
dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak dan dinyatakan secara tertulis (must
be in writing). Dengan demikian, apabila perjanjian arbitrase dibuat secara
lisan dianggap perjanjian itu tidak pernah ada (never existed).[37]
Menurut ketentuan Pasal 32 ayat (3) UUPPHI, surat
perjanjian arbitrase sekurang-kurangnya harus memuat:
a.
nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang
berselisih;
b.
pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang
diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;
c.
jumlah arbiter yang disepakati;
d.
pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan
keputusan arbitrase; dan
e.
tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para
pihak yang berselisih.
Secara teori, perjanjian arbitrase dapat dibuat sebelum
terjadi perselisihan dan menyatu dengan perjanjian pokok (pactum de
compromitendo). Misalnya dalam perjanjian kerja bersama yang dibuat antara
serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha dicantumkan klausul arbitrase
untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari (future
disputes). Pun demikian perjanjian arbitrase juga dapat dibuat setelah
terjadinya perselisihan (acta compromi).[38]
Dalam Undang-Undang sendiri ketentuan pembuatan perjanjian arbitrase ini tidak
diperjelas secara rinci, sehingga hal ini memungkinkan dibuatnya perjanjian
arbitrase sebelum maupun sesudah terjadinya perselisihan.
Apabila para pihak sudah menandatangani surat
perjanjian arbitrase, mereka berhak memilih arbiter dari daftar arbiter yang
ditetapkan oleh Menteri. Penunjukan arbiter dapat dilakukan melalui arbiter
tunggal ataupun beberapa orang arbiter (majelis) yang sebanyak-banyaknya 3
(tiga) orang, baik arbiter ad hoc atau arbiter institusional. Dalam hal
para pihak tidak sepakat dalam menunjuk arbiter, penunjukan arbiter dilakukan
oleh Ketua Pengadilan. Selanjutnya, arbiter yang ditunjuk harus membuat
perjanjian
penunjukan arbiter dengan para pihak yang berselisih, dengan memuat ketentuan-ketentuan sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 34 ayat (2) UUPPHI dan sekurang-kurangnya rangkap tiga.
penunjukan arbiter dengan para pihak yang berselisih, dengan memuat ketentuan-ketentuan sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 34 ayat (2) UUPPHI dan sekurang-kurangnya rangkap tiga.
Arbiter yang telah ditunjuk tidak dan menandatangani
surat penunjukan tidak dapat menarik diri tanpa persetujuan para pihak.
Sementara, dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri atau meninggal dunia,
maka sesuai kesepakatan para pihak harus menunjuk arbiter pengganti dalam
jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja. Arbiter pengganti
tersebut harus membuat pernyataan kesediaan menerima hasil-hasil yang telah
dicapai dan melanjutkan penyelesaian perkara. Artinya, arbiter pengganti
terikat pada hasil arbiteryang digantikan, yaitu yang tercermin dalam risalah kegiatan
penyelesaian perselisihan.[39]
3) Pelaksanaan Sidang Arbitrase
Tata cara pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter
atau majelis arbiter diatur dalam ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 48
UUPPHI. Adapun asas pemeriksaan perselisihan hubungan industrial di muka
arbiter dilakukan secara tertutup, kecuali para pihak yang berselisih
berkehendak lain. Artinya, asas pemeriksaan secara tertutup tidak berlaku
mutlak, tetapi dapat dikesampingkan apabila para pihak menghendakinya. Asas
pemeriksaan secara tertutup ini bertolak belakang dengan asas pemeriksaan di
muka sidang pengadilan, yaitu fair trial, di mana setiap tahapproses
persidangan mesti dilakukan terbuka untuk umum. pemeriksaan secara tertutup
dalam forum arbitrase bersifat konfidensial dan dilakukan dengan tujuan dan
motivasi agar nama baik para pihak terjamin kerahasiaannya, sehingga pihak luar
tidak tahu adanya perselisihan di antara para pihak.[40]
Untuk acara pemeriksaannya sendiri, arbiter memanggil para pihak
yang berselisih untuk menghadap ke muka arbiter. Dalam hal ini para pihak yang
berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus. Apabila pada hari sidang para pihak atau
kuasanya tanpa alasan yang sah tidak hadir meski telah dipanggil secara patut,
maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan
arbiter dan tugas arbiter/majelis arbiter dinyatakan selesai. Namun apabila
yang hadir hanya satu pihak saja, maka arbiter dapat memeriksa perkara dan
menjatuhkan putusan tanpa hadirnya salah satu pihak atau kuasanya (verstek).
Dalam awal pemeriksaan yang dihadiri oleh kedua belah pihak
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 4 UUPPHI, penyelesaian
perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali dengan upaya
mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. Apabila perdamaian tercapai,
maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang
ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis
arbiter, yang untuk selanjutnya didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian. Pendaftaran
Akta Perdamaian tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a.
Akta Perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti
pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Akta Perdamaian;
b.
Apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak,
maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Akta
Perdamaian didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
c.
Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Akta
Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili
pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Sebagaimana penjelasan di atas, dengan dibuatnya akta bukti
pendaftaran ini menunjukkan bahwa Akta Perdamaian tersebut bersifat final dan
mengikat (final and binding) serta mempunyai kekuatan eksekutorial (executorial
kracht).[41]
Di sisi lain, apabila para pihak tidak berhasil didamaikan, maka pemeriksaan
dilanjutkan oleh arbiter dengan memberikan kesempatan yang sama bagi para pihak
untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan tentang pendirian masing-masing
serta mengajukan bukti-bukti untuk menguatkan pendiriannya. Arbiter juga berhak
meminta penjelasan tambahan kepada para pihak atau adanya amandemen terhadap
tuntutan, pembelaan serta pendirian para pihak.
4)
Putusan Arbitrase
Dalam hal arbiter
menganggap pemeriksaan telah cukup, maka proses selanjutnya adalah pengambilan
keputusan. Arbiter atau majelis arbiter yang telah memeriksa perselisihan
antara kedua pihak menetapkan suatu putusan untuk menyelesaikan perselisihan
yang diperiksa. Putusan
sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum.[42]
Ketentuan ini memberikan kebebasan kepada arbiter dalam mengambil putusan,
tidak semata-mata berdasarkan peraturan perundang-undangan saja, tetapi juga
berdasarkan perjanjian kebiasaan, keadilan, dan kepentingan umum. berbeda dengan Pengadilan Hubungan Industrial yang
tidak boleh mengambil putusan berdasarkan kepentingan umum. oleh karena itu, putusan
arbiter dapat berbeda terhadap kasus yang sama dan putusan arbiter terdahulu
tidak wajibdibuat sebagai rujukan bagi arbiter lain yang memeriksa perselisihan
yang sama.[43]
Dalam Pasal 50 UUPPHI, suatu putusan yang dikeluarkan oleh arbiter
harus memuat syarat formil dan mteriil tidak ubahnya putusan pengadilan, yang
meliputi:
a.
kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA";
b.
nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
c.
nama lengkap dan alamat para pihak;
d.
hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh
para pihak yang berselisih;
e.
ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para
pihak yang berselisih;
f.
pertimbangan yang menjadi dasar putusan;
g.
pokok putusan;
h.
tempat dan tanggal putusan;
i.
mulai berlakunya putusan; dan
j.
tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.
Perlu diketahui pula
bahwa dengan tidak
ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter dengan alasan
sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan, di
mana alasan tentang tidak adanya tanda tangan tersebut harus dicantumkan dalam
putusan. Putusan arbiter ini ditetapkan selambat-lambatnya 14 (empat belas)
hari kerja harus sudah dilaksanakan oleh para pihak.
Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (in
kracht van gewijsde) bagi para pihak yang berselisih, dan merupakan putusan
yang bersifat akhir dan tetap (final and binding). Artinya, perselisihan
yang sedang atau telah diselesaikna melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke
Pengadilan Hubungan Industrial.[44]
Dan untuk memperoleh putusan yang memiliki kekuatan hukum sama dengan putusan
hakim, maka putusan dari arbiter perlu didaftarkan ke Pengadilan Hubungan
Industrial untuk dikukuhkan. Sehingga apabila salah satu pihak ingkar terhadap
putusan ini, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi ke Pengadilan Hubungan Industrial. Atas permohonan eksekusi tersebut
pengadilan selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima permohonan mengeluarkan
perintah pelaksanaan eksekusi.
5)
Pembatalan Putusan Arbitrase
Seperti
yang telah dikemukakan sebelumnya, pada prinsipnya putusan arbiter bersifat final
and binding sehingga tidak ada upaya hukum apapun bagi para pihak untuk
memeriksa kembali perselisihan tersebut. Akan tetapi, dalam ketentuan Pasal 52
UUPPHI disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase dapat diajukan permohonan
pembatalan ke Mahkamah Agung oleh salah satu pihak selambat-lambatnya 30 hari
kerja setelah putusan arbiter dijatuhkan. Hal ini dapat dilakukan jika diduga
surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan dinyatakan tidak diakui atau
dinyatakan palsu setelah putusan dijatuhkan. Atau karena sebab-sebab lain,
seperti: a) ditemukan dokumen yang bersifat menentukan hasil putusan yang
disembunyikan oleh pihak lawan; b) putusan diambil dari tipu muslihat yang
dilakukan oleh pihak lawan; c) putusan melampaui kewenangan arbiter hubungan
industrial; atau d) putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.[45]
Alasan-alasan
tersebut bersifat limitatif, dengan pengertian sepanjang unsur tersebut tidak
ditemukan dalam putusan arbiter maka putusan tidak dapat ditinjau atau
dimintakan pembatalan. Kemudian, dalam hal permohonan pembatalan putusan
arbitase dikabulkan oleh Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung menetapkan akibat
dari pembatalan tersebut baik seluruhnya atau sebagian. Mahkamah Agung
memutuskan permohonan pembatalan dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung
sejak menerima permohonan pembatalan.[46]
Selanjutnya
mengenai tindakan arbiter yang diambil selama proses persidangan untuk menjalankan
fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter, tindakan tersebut tidak dapat
dikenakan tanggung jawab hukum apapun kecuali dapat dibuktikan adanya iktikad
tidak baik dalam tindakan tersebut.[47]
DAFTAR
PUSTAKA
Asyhadie, Zaeni. 2007. Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang
Hubungan Kerja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Husni, Lalu. 2007. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
melalui Pengadilan dan di Luar Pengadilan. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Sutedi, Adrian. 2009. Hukum Perburuhan. Jakarta: Sinar
Grafika.
Ugo dan Pujiyo. 2011. Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial: Tata Cara dan Proses Penyelesaian Sengketa Perburuhan.
Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.
[1] Pasal 1 angka
16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
[2] Ugo dan
Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial: Tata Cara
dan Proses Penyelesaian Sengketa Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), hlm. 3.
[3] Lalu Husni, Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan dan di Luar Pengadilan,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 21-22.
[4] Lalu Husni, Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial..., hlm. 24.
[5] Lalu Husni, Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial..., hlm. 24.
[6] Zaeni
Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 146..
[7] Pasal 1 angka
2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
[8] Ugo dan
Pujiyo, Hukum Acara ..., hlm. 27-28.
[9] Pasal 1 angka
3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
[10] Ugo dan
Pujiyo, Hukum Acara..., hlm. 33-34.
[11] Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial..., hlm. 45.
[12] Pasal 1 angka
4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
[13] Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial..., hlm. 46.
[14] Ugo dan
Pujiyo, Hukum Acara ..., hlm. 47.
[15] Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial ..., hlm. 52.
[16] Ugo dan
Pujiyo, Hukum Acara ..., hlm. 53.
[17] Adrian Sutedi,
Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 108.
[18] Pasal 3 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
[19] Pasal 6 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
[20] Zaeni
Asyhadie, Hukum Kerja..., hlm. 149-150.
[21] Ugo dan
Pujiyo, Hukum Acara..., hlm. 58.
[22] Zaeni
Asyhadie, Hukum Kerja..., hlm. 151.
[23] Lalu Husni, Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial..., hlm. 60.
[24] Lalu Husni, Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial..., hlm. 68.
[25] Lalu Husni, Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial..., hlm. 69.
[26] Pasal 19 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
[27] Pasal 81 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
[28] Ugo dan
Pujiyo, Hukum Acara..., hlm. 92.
[29] Ugo dan
Pujiyo, Hukum Acara..., hlm. 94-95.
[30] Pasal 111 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
[31] Ugo dan
Pujiyo, Hukum Acara..., hlm. 79.
[32] Lalu Husni, Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial..., hlm. 72-74.
[33] Ugo dan
Pujiyo, Hukum Acara..., hlm. 79.
[34] Adrian Sutedi,
Hukum Perburuhan..., hlm. 113.
[35] Lalu Husni, Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial..., hlm. 74.
[36] Ugo dan
Pujiyo, Hukum Acara..., hlm. 80.
[37] Adrian Sutedi,
Hukum Perburuhan..., hlm. 117.
[38] Adrian Sutedi,
Hukum Perburuhan..., hlm. 117.
[39] Ugo dan
Pujiyo, Hukum Acara..., hlm. 83.
[40] Adrian Sutedi,
Hukum Perburuhan..., hlm. 123.
[41] Adrian Sutedi,
Hukum Perburuhan..., hlm. 124.
[42] Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
[43] Adrian Sutedi,
Hukum Perburuhan..., hlm. 125.
[44] Adrian Sutedi,
Hukum Perburuhan..., hlm. 126.
[45] Pasal 52 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
[46] Pasal 52 dan
53 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
[47] Ugo dan
Pujiyo, Hukum Acara..., hlm. 86.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut