HAK MILIK ATAS TANAH




A.     Ketentuan Umum
Ketentuan mengenai Hak Milik disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a, dan secara khusus diatur dalam Pasal 20 hingga Pasal 27 UUPA. Menurut Pasal 50 ayat (1) UUPA, ketentuan lebih lanjut Mengenai Hak Milik diatur dengan undang-undang. Namun karena undang-undang yang dimaksud belum terbentuk hingga kini, maka Pasal 56 UUPA ditetapkan sebagai dasar pemberlakuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lain yang tidak bertentangan dengan UUPA sebagai pedoman pengaturan Hak Milik.


B.     Pengertian Hak Milik
Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Turun-temurun artinya Hak Milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup, dan apabila pemiliknya meninggal dunia maka hak milik tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang ia cakap sebagai subjek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak-hak atas tanah lainya, tidak memiliki batas waktu, tidak mudah hapus, dan mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain. Sedangkan perkataan terpenuh menunjuk pada luasnya wewenang yang diberikan kepada subjek yang mempunyai Hak Milik itu.[1] Wewenang ini lebih luas bila dibandingkan dengan hak-hak atas tanah yang lain, karena Hak Milik dapat menjadi induk bagi hak atas tanah lainnya tetapi tidak berinduk pada hak atas tanah lain.
Menurut A.P. Parlindungan,[2] kata-kata “terkuat dan terpenuh” itu bermaksud untuk membedakannya dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan hak-hak lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh seseorang, hak miliklah yang “ter” (paling kuat dan penuh).


C.     Peralihan Hak Milik
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2), hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Bentuk peralihan Hak Milik dapat dikelompokkan menjadi dua sebagai berikut.
1.  Beralih
Beralih artinya berpindahnya Hak Milik atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan suatu peristiwa hukum.[3] Dengan meninggalnya pemilik tanah, maka secara hukum Hak Milik akan berpindah tangan kepada ahli warisnya sepanjang ia cakap sebagai subjek Hak Milik. Peralihan Hak Milik atas tanah yang telah bersertifikat ini harus dilaporkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan surat keterangan kematian pemilik tanah dan surat keterangan sebagai ahli waris yang dibuat oleh pejabat berwenag, bukti identitas para ahli waris, serta sertifikat tanah yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk dicatat dalam Buku Tanah dan dilakukan perubahan nama pemegang hak milik. Prosedur pendaftaran peralihan Hak Milik ini diatur dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Pasal 111 dan Pasal 112 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

2.  Dialihkan/pemindahan hak
Dialihkan/pemindahan hak artinya berpindahnya Hak Milik atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum,[4] seperti jual beli, tukar-menukar, lelang, penyertaan dalam modal perusahaan, dan hibah. Pemindahan Hak Milik jenis ini harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kecuali lelang yang dibuktikan dengan Berita Acara Lelang atau Risalah Lelang oleh pejabat dari Kantor Lelang. Sebagaimana peralihan Hak Milik jenis pertama, pemindahan hak ini juga harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
Prosedur pemindahan Hak Milik atas tanah karena jual beli, tukar-menukar dan penyertaan dalam modal perusahaan diatur dalam Pasal 37 hingga Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo. Pasal 97 hingga Pasal 106 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997. Sedangkan untuk pemindahan hak karena lelang diatur dalam Pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo. Pasal 107 hingga Pasal 110 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997. Adapun peralihan Hak Milik atas tanah baik secara langsung maupun tidak langsung kepada seseorang berkewarganegaraan ganda atau kepada badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah adalah batal karena hukum, sehingga tanahnya jatuh dan dikuasai langsung oleh negara.


D.     Subjek Hak Milik
Menurut UUPA dan peraturan pelaksanaannya, yang dapat menjadi subjek Hak Milik adalah:
a.  Perseorangan
Ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik.
b.  Badan-badan hukum
Pemberian Hak Milik atas tanah bukan saja diberikan kepada perseorangan, tetapi juga dapat diberikan kepada badan-badan hukum, sesuai dengan bunyi Pasal 21 ayat (2) UUPA: “Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik syarat-syaratnya.” Dalam memberikan landasan hukum yang terkuat kepada badan-badan hukum untuk mendapat hak milik atas tanah, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.[5] Di antara badan-badan hukum tersebut ialah:
 1.  Bank-bank yang didirikan oleh negara (misalnya: Bank Mandiri, Bank BNI, Bank Rakyat Indonesia, Bank BTN, dan sebagainya);
2. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar Undang-undang Nomor 79 Tahun 1958 (LN 1958 Nomor 139);
3. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri (sekarang Kepala BPN) setelah mendapat rekomendasi Menteri Agama;
4.  Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri (sekarang Kepala BPN) setelah mendapat rekomendasi Meneri Sosial.[6]
Khusus untuk bank-bank negara yang diperbolehkan mempunyai hak milik, diperkenankan syarat-syarat:
1) Digunakan untuk tempat bangunan-bangunan yang diperlukan guna menunaikan tugasnya, semisal kantor, serta perumahan bagi para pegawainya.
2)   Berasal dari pembelian di pelelangan umum sebagai hasil eksekusi bank selaku kreditur yang mempunyai hak tanggungan, yang disertai dengan beberapa ketentuan.
Bagi pemilik tanah yang tidak memenuhi syarat sebgai subjek Hak Milik atas tanah, maka dalam waktu satu tahun ia harus melepaskan atau mengalihkan haknya tersebut kepada pihak lain yang cakap. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka tanah tersebut akan hapus karena hukum dan kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara (Pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) UUPA).


E.     Terjadinya Hak Milik
Terjadinya hak milik atas tanah menurut ketentuan Pasal 22 UUPA dibagi menjadi tiga cara, yakni:
1)  Hak Milik atas tanah yang terjadi menurut Hukum Adat
Hak Milik atas tanah jenis ini terjadi dengan jalan pembukaan tanah (hak ulayat) atau karena timbulnya lidah tanah (Aanslibbing). Yang dimaksud dengan pembukaan tanah adalah pembukaan tanah (pembukaan hutan) yang dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat Hukum Adat yang dipimpin oleh ketua adat dengan tiga sistem penggarapan, yaitu matok sirah matok galeng, matok sirah gilir galeng, dan sistem bluburan. Sedangkan lidah tanah (Aanslibbing) adalah tanah yang muncul karena berbeloknya arus sungai atau tanah yang timbul di pinggir pantai, dari lumpur yang mengeras dan kian meninggi sehingga menjadi tanah. Dalam Hukum Adat, lidah tanah ini menjadi hak bagi pemilik tanah yang berbatasan. Hak Milik atas tanah ini dapat didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk mendapatkan Sertifikat Hak Milik.

2)  Hak Milik atas tanah yang terjadi karena penetapan pemerintah
Hak milik atas tanah jenis ini semula milik negara, yang kemudian karena permohonan pemberian Hak Milik atas tanah oleh pemohon yang memenuhi prosedur dan persyaratan ini Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) untuknya. Prosedur dan persyaratan pemberian hak ini diatur dalam Pasal 8 sampai dengan 16 Permen Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

3)  Hak Milik atas tanah yang terjadi karena ketentuan undang-undang
Terjadinya Hak Milik atas tanah ini diciptakan oleh undang-undang, atas dasar ketentuan konversi (perubahan) menurut UUPA. Konversi adalah perubahan status hak atas tanah menurut hukum lama sebelum berlakunya UUPA menjadi hak atas tanah yang ditetapkan dalam UUPA (Pasal 16 UUPA). UUPA sendiri mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960. Penegasan konversi tanah adat ini diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria (PMPA) No. 2 Tahun 1962 tentang Penegasan dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia atas tanah.
Hak Milik atas tanah juga dapat terjadi melalui dua cara, yaitu secara originair dan secara derivatif. Secara originair artinya terjadinya Hak Milik atas tanah untuk pertama kalinya menurut hukum adat, penetapan pemerintah, dan undang-undang. Sedangkan secara derivatif adalah apabila suatu subjek hukum memperoleh tanah dari subjek hukum lain yang telah berstatus Hak Milik melalui perbuatan atau peristiwa hukum, misalnya jual-beli, tukar-menukar, hibah dan pewarisan.


F.      Kewajiban Pendaftaran Hak Milik
Hak Milik atas tanah, demikian dengan setiap peralihan, pembebanan dengan hak-hak lain, bahkan hapusnya Hak Milik atas tanah haruslah didaftarkan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Pendaftaran ini merupakan alat pembuktian yang kuat (Pasal 23 UUPA), yang ditandai dengan diterbitkannya tanda bukti hak berupa sertifikat. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, pendaftaran ini sebagai surat tanda bukti hak atas tanah.


G.    Penggunaan Hak Milik oleh Bukan Pemiliknya
Pada asasnya, pemilik tanah memiliki kewajiban menggunakan atau mengusahakan tanahnya sendiri secara aktif. Akan tetapi UUPA juga mengatur bahwa Hak Milik atas suatu tanah dapat diusahakan atau digunakan oleh orang lain yang bukan pemiliknya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 24 UUPA yang berbunyi, “Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan.” Di antara penggunaan atau pengusahaan tanah oleh bukan pemiliknya adalah:
1.       Hak Milik atas tanah dibebani dengan Hak Guna bangunan.
2.       Hak Milik atas tanah dibebani dengan Hak Pakai.
3.       Hak Sewa untuk Bangunan.
4.       Hak Gadai (Gadai Tanah).
5.       Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil).
6.       Hak Menumpang.
7.       Hak Sewa Tanah Pertanian.[7]


H.    Pembebanan Hak Milik dengan Hak Tanggungan
Berdasarkan ketentuan Pasal 25 UUPA, Hak Milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain (Pasal 1 angka 1 UU No. 4 Tahun 1996).[8]
Adapun tiga unsur kumulatif yang menjadi syarat sah Hak Tanggungan, meliputi:
a)    Adanya perjanjian utang piutang sebagai perjanjian pokoknya.
b)   Adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagai perjanjian ikutan (tambahan).
c)    Adanya Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Prosedur pembebanan Hak Milik dengan Hak Tanggungan diatur dalam Undang-undang No. 4 tahun 1996 jo. Pasal 44 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo. Pasal 114 sampai dengan Pasal 119 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997.[9]


I.        Hapusnya Hak Milik
Terkait dengan hapusnya Hak Milik atas tanah ini diatur dalam Pasal 27 UUPA, yakni sebagai berikut:
Hak Milik hapus bila:
a.       Tanahnya jatuh kepada negara:
1.       Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18;
2.       Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3.       Karena ditelantarkan;
4.       Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2).

b.       Tanahnya musnah
Ketentuan Pasal 21 ayat (3) UUPA membicarakan tentang subjek hak yang tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah. Sedangkan Pasal 26 ayat (2) membicarakan mengenai peralihan Hak Milik yang mengakibatkan perpindaham hak tanah kepada pihak lain yang todak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah. Adapun contoh hapusnya Hak Milik karena musnahnya tanah ialah adanya bencana alam.



DAFTAR PUSTAKA

Parlindungan, A.P. 1993. Komentar atas Undang-undang Pokok Agraria. Bandung: Mandar Maju.
Santoso, Urip. 2012. Hukum Agraria: Kajian Komprehensif. Jakarta: Kencana.
Supriadi. 2012. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.
Supriyadi, Bambang Eko. 2013. Hukum Agraria Kehutanan: Aspek Hukum Pertanahan dalam Pengelolaan Hutan Negara. Jakarta: Rajawali Pers.





[1] Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan: Aspek Hukum Pertanahan dalam Pengelolaan Hutan Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal. 55.
[2] A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar Maju, 1993), hal. 124.
[3] Urip Santoso, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 93.
[4] Ibid., hal. 94.
[5] Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal. 65.
[6] Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan..., hal. 56.
[7] Urip Santoso, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif..., hal. 99.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hal. 100.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUMD DI KABUPATEN TULUNGAGUNG

PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA INDONESIA

Hukum Jaminan: PENGGOLONGAN JAMINAN