Hukum Acara Perdata: ASAS ACTOR SEQUITUR FORUM REI


Sebuah aturan yang bersifat materiil tentunya membutuhkan aturan lain yang mendukung dalam mengatur pelaksanaannya. Begitu pula sebaliknya. Seperti halnya Hukum Perdata yang saling berkaitan dengan Hukum Acara Perdata. Hukum Acara Perdata dapat diartikan sebagai peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara ditaatinya Hukum Perdata materiil dengan perantara hakim. Hukum Acara Perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa, memutuskannya, serta melaksanakan hasil putusan tersebut.
Sebagai hukum yang merealisasikan pelaksanaan dari Hukum PerdataPmateriil, Hukum Acara perdata juga mencakup bagaimana tata cara pelaksanaan peradilan oleh alat-alat penegak hukum berdasarkan hukum yang berlaku, termasuk di dalamnya mengenai kompetensi mengadili oleh pengadilan-pengadilan di Indonesia.





A.  Kompetensi Mengadili
Kompetensi sering juga disebut dengan kewenangan atau kekuasaan. Secara bahasa, kata “kompetensi” berasal dari bahasa Latin “competo”, yang berarti kewenangan yang diberikan oleh undang-undang mengenai batas untuk melaksanakan sesuatu tugas mengadili. Sedangkan kata “kompetensi” dalam bahasa Belanda adalah “competentie”, artinya kekuasaan mengadili, yakni kekuasaan atau kewenangan mengadili berkaitan dengan perkara yang diperiksa di pengadilan, atau pengadilan mana yang berhak memeriksa perkara tersebut.
Kompetensi dibedakan menjadi dua, yaitu kompetensi absolut dan juga kompetensi relatif.
1.    Kompetensi Absolut (Attributie van Rechtsmacht)
Kompetensi absolut atau biasa juga disebut kewenangan mutlak ialah kewenangan badan pengadilan di dalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain.[1] Biasanya kompetensi absolut ini tergantung pada isi gugatan, yaitu nilai dari pada gugatan (Pasal 6 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947)
Menurut amandemen Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dan sekarang diganti dengan Pasal 2 jo. Pasal 10 Undang-undang ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, kekuasaan kehakiman (Judicial Power) yang berada di bawah Mahkamah Agung terdiri atas empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.  Adapun kewenangan masing-masing lingkungan peradilan adalah sebagai berikut.[2]
a.  Peradilan Umum sebagaimana yang digariskan Pasal 50 dan Pasal 51 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, hanya berwenang mengadili pidana (pidana umum dan khusus) dan perdata (perdata umum dan niaga).
b.  Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, hanya berwenang mengadili perkara bagi rakyat yang beragama Islam mengenai perkawinan, kewarisan (meliputi wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam), wakaf, dan shadaqah. Namun seiring perkembangannya kompetensi ini ditambah perkara yang berkenaan dengan sengketa ekonomi dan/atau bisnis syariah.
c.   Peradilan Tata Usaha Negara, menurut Pasal 47 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kewenangannya terbatas dan tertentu untuk mengadili sengketa Tata Usaha Negara.
d.   Peradilan Militer, sesuai dengan ketentua Pasal 40 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997, hanya berwenang mengadili perkara pidana yang terdakwanya terdiri dari prajurit TNI berdasarkan pangkat tertentu.
Memperhatikan uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa batas yurisdiksi pada masing-masing lingkungan peradilan tersebut merupakan wujud dari kompetensi absolut. Misalnya persoalan mengenai perceraian, bagi mereka yang beragama Islam berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah kompetensi Pengadilan Agama. Sedangkan bagi mereka yang beragama non-Islam, perceraian tersebut menjadi kompetensi Pengadian Negeri. Sehingga dapat dikatakan bahwa kompetensi atau kewenangan ini menjawab pertanyaan “Badan peradilan macam apa yang berwenang mengadili sengketa ini?”.

2.    Kompetensi Relatif (Distributie van Rechtsmacht)
Kompetensi relatif disebut juga kewenangan nisbi. Kompetensi relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili di antara pengadilan serupa, yang prinsipnya tergantung pada tempat tinggal tergugat. Dalam hal ini, menurut Pasal 54 Nomor 7 tahun 1989, hukum acara yang digunakan di Peradilan Agama adalah sebagaimana hukum acara perdata yang berlaku pada lingkungan Peradilan Umum. Oleh karena itu, landasan untuk menentukan kewenangan relatif Pengadilan Agama (maupun Pengadilan Negeri) merujuk kepada ketentuan Pasal 118 HIR, atau Pasal 142 RBg. jo. Pasal 66 dan Pasal 73 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.[3] Akan tetapi, untuk memperjelas pembahasannya, sengaja berorientasi juga kepada Pasal 99 Rv.[4] Penentuan kompetensi relatif ini bertitik tolak dari aturan yang menetapkan “Ke Pengadilan Negeri mana gugatan diajukan agar memenuhi syarat formal?”.
Pasal 118 ayat (1) HIR menganut asas bahwa yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri tempat tergugat. Asas ini dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan “Actor Sequitur Forum Rei”. Dengan kata lain,  tempat kedudukan daerah hukum menentukan batas kompetensi relatif mengadili bagi setiap Pengadilan Negeri. Meskipun perkara yang disengeketakan termasuk yurisdiksi suatu Pengadilan Negeri untuk mengadilinya, namun ini tetap dibatasi oleh kewenangan mengadili secara relatif. Jadi, apabila perkara yang disengketakan tersebut berada di luar daerah hukumnya, maka secara relatif Pengadilan Negeri tersebut tidak berwenang mengadilinya. Apabila terjadi pelampauan batas daerah hukum, berarti Pengadilan Negeri yang bersangkutan melakukan tindakan melampaui batas kewenangan (exceeding its power).[5] Tindakan ini dapat berakibat pada pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan dalam perkara tersebut menjadi tidak sah, sehingga harus dibatalkan oleh Pengadilan Negeri yang bersangkutan.


B.  Asas Actor Sequitur Forum Rei
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, menjadi patokan dari asas actor sequitur forum rei ini adalah Pasal 118 ayat (1) HIR, yang menegaskan bahwa yang berwenang mengadili suatu perkara adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat. Oleh karenanya, agar gugatan yang diajukan oleh penggugat tidak melanggar batas kompetensi relatif, gugatan harus diajukan ke Pengadilan Negeri yang berkedudukan di wilayah atau daerah hukum tempat tinggal tergugat.
Mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri di luar wilayah tempat tinggal tergugat tidak dibenarkan, karena dianggap sebagai pemerkosaan hukum terhadap kepentingan tergugat dalam membela diri. Rasio penegakan patokan actor sequitur forum rei atau forum domisili bertujuan untuk melindungi tergugat.[6] Siapapun tidak dilarang untuk menggugat seseorang, tetapi kepentingan tergugat harus dilindungi dengan cara melakukan pemeriksaan di Pengadilan Negeri tempat tinggalnya, bukan di tempat tinggal penggugat. Apabila dilakukan di tempat tinggal penggugat dapat menimbulkan kesulitan bagi tergugat, jika tempat tinggal penggugat jauh dari tempat tinggal tergugat. Misalnya, penggugat bertempat tinggal di Medan, menggugat seseorang yang bertempat tinggal di Surabaya. Jika patokan kompetensi relatif berada di tempat tinggal penggugat, berarti tergugat yang berdomisili di Surabaya harus tampil dan hadir menghadap di Pengadilan Negeri Medan. Hal ini dianggap tidak adil, karena yang wajar seseorang yang mengajukan gugatan kepada orang lain, harus berani berhadapan dengan orang itu di tempat kediaman tergugat.
Terhadap asas actor sequitur forum rei ini terdapat beberapa pengecualian, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 118 HIR berikut.
a.    Apabila tempat diamnya tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan ke pengadilan tempat tinggalnya yang sebenarnya (Pasal 118 ayat (1) HIR). Misalnya seorang tergugat yang berdasarkan identitas kependudukannya di Surabaya kemudian karena memiliki banyak hutang ia melarikan diri ke Samarinda dan itu diketahui oleh si penggugat, maka gugatan tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri Samarinda.
b.    Apabila tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri yang sama, maka tuntutan itu diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal salah seorang tergugat yang dipilih oleh penggugat (Pasal 118 ayat (2) HIR). Semisal penggugat A tinggal di Tulungagung, sedangkan tergugat X tinggal di Malang dan tergugat Y di Blitar. Maka penggugat dapat memilih mengajukan gugatan antara di Malang atau di Blitar.
c. Dalam hal nomor 2 di atas, tergugat salah satunya seorang debitur dan lainnya adalah penjamin/penanggung, maka gugatan diajukan di tempat debitur (Pasal 118 ayat (1) HIR). Pada contoh nomor 2 di atas, apabila X hanya sebatas penjamin, sedang si debitur adalah Y, maka A mengajukan gugatan ke tempat tinggal Y, yakni di Blitar.
d.   Apabila tidak diketahui tempat diam si tergugat dan tempat tinggalnya yang sebenarnya, atau jika tidak dikenal orangnya, maka tuntutan itu diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat (Pasal 118 ayat (3) HIR). Misalnya seorang yang tinggal di luar Indonesia dan tidak mempunyai tempat tinggal di Indonesia digugat oleh seorang yang berdomisili di Pekanbaru, maka gugatan dapat dilakukan melalui Pengadilan Negeri di tempat penggugat tinggal, yakni di Pekanbaru.
e.    Apabila objek sengketa berupa barang tetap, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang itu (Pasal 118 ayat (3) HIR). Misalnya objek yang disengketakan berada di Tulungagung, sedangkan domisili penggugat di Samarinda dan tergugat di Trenggalek. Maka gugatan diajukan di Pengadilan Negeri di Tulungagung sesuai dengan tempat objek sengketa berada.
f.     Apabila ada suatu tempat tinggal yang dipilih dengan surat akta, maka penggugat, kalau mau, boleh mengajukan tuntutannya kepada Ketua Pengadilan Negeri yangdalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal yang dipilih itu (Pasal 118 ayat (4) HIR). Misalnya Tn. Alex memiliki tiga rumah di tempat yang berbeda, yaitu di Semarang, Bandung, dan Kediri. Maka apabila terjadi sengketa si penggugat dapat menuntut Tn. Alex di salah satu kediamannya.
Pengecualian lain yang diatur dalam BW dan Rv. di antaranya:
a) Tergugat tidak cakap bertindak, gugatan diajukan kepada pengadilan tempat wali atau pengampu (Pasal 21 BW)
b)   Pegawai Negeri pada pengadilan di mana ia bekerja (Pasal 20 BW)
c)    Buruh yang menginap di majikan, pada pengadilan tempat majikan (Pasal 22 BW)
d)   Dalam kepailitan pada pengadilan yang menyatakan tergugat pailit (Pasal 99 ayat (15) Rv)
e)  Tentang penjaminan pada pengadilan tingkat pertama pemeriksaan dilakukan (Pasal 99 ayat (11) Rv)
f)    Pembatalan perkawinan di mana perkawinan dilakukan.
g)   Tergugat di luar negeri, Ketua Pengadilan menyampaikan kepada dan/atau melalui perwakilan RI setempat (Pasal 40, Pasal 63 ayat (1) b Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3), PP No. 9 Tahun 1975).


DAFTAR PUSTAKA

Harahap, M. Yahya. 2008. Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.
Lubis, Sulaikin. 2005. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Soeroso, R. 2011. Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan. Jakarta: Sinar Grafika.




[1] R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 8-9.
[2] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 181.
[3] Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 102.
[4] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata..., hal. 191-192.
[5] Ibid., hal. 192.
[6] Ibid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUMD DI KABUPATEN TULUNGAGUNG

PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA INDONESIA

KONTRAK BAKU (STANDARD CONTRACT)