Fiqh Mawaris: Sebab, Rukun dan Syarat Kewarisan
SEBAB, RUKUN DAN SYARAT KEWARISAN
Oleh: Vivin Najihah
A.
Sebab-sebab Kewarisan
Menurut jumhurul ulama, sebab-sebab
seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia ada 3 (tiga), yakni
kekerabatan/nasab, pernikahan, dan wala’ (memerdekakan budak). Di
samping ketiga sebab tersebut, para ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah juga
memberi tambahan satu sebab, yaitu Jihatul maal. Untuk ulasan lebih rinci akan
dipaparkan sebagai berikut.
1. Kekerabatan/Nasab
Seseorang dapat memperoleh
harta warisan atau menjadi ahli waris salah satunya disebabkan karena adanya
hubungan kekerabatan/nasab dengan si pewaris (muwarrits). Hal ini ditegaskan Allah SWT melalui firman-Nya dalam QS.
Al-Anfal ayat 75.
وَاُوْلُواالْأَرْحَامِ
بَعْضُهُمْ اَوْﱃٰبِبَعْضٍﰲِكِتٰبِ اللّٰهِقلى اِنَّ اللّٰهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ...
Artinya: “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat
itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat),
di dalam kitab Allah. Sesungguhnya allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kekerabatan
ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan (si pewaris) dengan orang
yang mewarisi (ahli waris) yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan
merupakan sebab adanya hak mempusakai yang paling kuat karena kekerabatan
merupakan unsur kausalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan begitu
saja.[1]
Ditinjau dari garis
yang menghubungkan nasab antara si pewaris dengan ahli waris, kekerabatan dapat
digolongkan menjadi 3 (tiga), yakni:
a. Ushul,
yaitu pertalian lurus ke atas dari si mati, seperti ibu, nenek, ayah, kakek,
dan seterusnya.
b.
Furu’,
yaitu pertalian lurus ke bawah, yang merupakan anak turun dari si mati, seperti
anak, cucu, cicit, dan seterusnya.
c.
Hawasyi,
yaitu pertalian menyamping dari si mati, seperti saudara, paman-bibi,
keponakan, danseterusnya tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan.
Selain
berdasarkan nasab, seseorang menerima warisan terjadi dengan jalan fardhu, ta’shib,
yaitu menerima sisa dari yang telah diambil oleh mereka yang berhak berdasar
fardhu, dan jalan lainnya dengan kedua-duanya, yaitu di satu keadaan dengan
jalan fardhu dan di keadaan lain dengan jalan ta’shib.[2]
Dan apabila dihubungkan dengan bagian yang diterima si ahli waris sebagai
akibat hubungan kekerabatan, maka dikelompokkan menjadi empat. Antara lain:
1) Ashabul furud an-nasabiyah, yaitu golongan kerabat yang mendapat bagian tertentu
jumlahnya, seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8.
2)
Ashabah nasabiyah, yaitu golongan kerabat yang tidak memperoleh bagian tertentu, tetapi
mendapat sisa dari ashabul furud,
atau mendapat seluruh peninggalan apabila tidak ada ashabul furud sama sekali. Ashabah
nasabiyah ini kesemuanya terdiri dari laki-laki.
3)
Golongan kerabat yang mendapat dua macam bagian secara bersama-sama,
yaitu furudul muqaddarah dan juga
sisa (ashabah), seperti ayah, kakek, dan
seterusnya.
4)
Dzawil arham,
yaitu golongan kerabat yang tidak termasuk ashabul
furud dan ashabah, seperti cucu
dari anak perempuan dan lain sebagainya.
Dalam beberapa
kasus, semisal seorang anak yang tidak
pernah tinggal dengan ayahnya seumur hidup, maka ia tetap berhak atas warisan
dari ayahnya bila sang ayah meninggal dunia. Demikian pula dengan kasus dimana
seorang kakek yang mempunyai anak yang semuanya telah berkeluarga. Kemudian
menjelang ajal, si kakek menikah lagi dengan seorang wanita dan memiliki anak,
maka anak tersebut berhak mendapat warisan sama besar dengan anak-anak si kakek
lainnya.
Hal serupa juga berlaku
terhadap permasalahan mengenai anak angkat atau anak adopsi yang masih memiliki
hubungan nasab dengan si pewaris. Misalnya si pewaris mengangkat seorang anak
yang merupakan keponakannya sendiri. Apabila si pewaris tersebut meninggal
dunia, maka anak tersebut masih memiliki hak untuk menerima harta warisan.
Meskipun dalam sistem kewarisan Islam anak angkat
atau anak adopsi tidak dapat mewarisi, namun dalam hal ini
anak tersebut dapat mewarisi karena nasabnya sebagai keponakan dari si pewaris.
2. Pernikahan
Hubungan
pernikahan ini terjadi setelah dilakukannya akad nikah yang sah dan terjadi
antara suami-istri, sekalipun belum atau tidak terjadi persetubuhan. Berbeda
dengan urusan mahram, yang berhak mewarisi di sini hanyalah suami atau istri
dari orang yang mewariskan harta atau muwarrits.
Sedangkan mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya pernikahan,
tidak menjadi penyebab adanya pewarisan. Meski mertua dan menantu tinggal serumah, maka
seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya meninggal dunia.
Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak memberikan warisan
kepada adik iparnya, meski mereka tinggal serumah.[3]
Pernikahan yang sah menurut
syariat Islam merupakan ikatan untuk mempertemukan seorang laki-laki dengan
seorang perempuan selama ikatan pernikahan itu masih terjadi. Masing-masing
pihak adalah teman hidup yang saling membantu bagi yang lain dalam memikul
beban hidup bersama. Oleh sebab itu, Allah SWT memberikan sebagian
harta tertentu sebagai imbalan pengorbanan atas jerih
payahnya apabila salah satu dari keduanya meninggal dunia dengan meninggalkan
harta. Pernikahan yang menyebabkan seorang suami atau istri dapat mewarisi
memerlukan dua syarat, yaitu:
a)
Akad nikah tersebut sah menurut syariat Islam, baik
keduanya telah berkumpul ataupun belum.
Ketentuan ini didasarkan pada:
§ Keumuman ayat-ayat mawaris
§ Tindakan Rasulullah SAW terhadap kewarisan Barwa’
binti Wasyiq yang suaminya telah meninggal dunia sebelum mengumpuli dan
menetapkan maharnya. Dimana dalam hal ini Rasulullah SAW menunjukkan bahwa sah atau tidaknya
suatu perkawinan tidak bergantung pada sudah berkumpulnya suami-istri atau
telah terlunasinya pembayaran mahar, melainkan bergantung pada terpenuhinya
syarat dan rukun perkawinan. Adapun pernikahan yang tidak sah (batil atau rusak),
tidak menyebabkan seorang suami atau
istri mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali dan saksi, maka
pernikahan tersebut dikatakan batil dan menyebabkan tidak saling mewarisi
antara suami dan istri.
b) Ikatan pernikahan antara suami-istri tersebut masih utuh atau dianggap masih
utuh
Suatu perkawinan
dianggap masih utuh apabila perkawinan tersebut telah diputuskan dengan talak raj’i dan pihak istri masih dalam
masa iddah. Pada masa iddah
tersebut suami masih mempunyai hak penuh untuk merujuknya kembali, baik dengan
perkataan maupun perbuatan tanpa memerlukan kerelaan istri, membayar mahar,
menghadirkan dua orang saksi ataupun seorang wali. Dengan demikian, hak
suami-istri untuk saling mewarisi terpenuhi.
Apabila suami
meninggal dunia dengan meninggalkan istri yang masih dalam masa iddah talak
raj’i, maka istri tersebut masih dapat mewarisi harta peninggalan suaminya.
Begitu pula sebaliknya. Akan tetapi, apabila masa iddah istri tersebut
telah habis, menurut ijma’ keduanya tidak dapat saling mewarisi harta
peninggalannya. Dan bila seorang suami dalam keadaan sakit berat menalak
istrinya kemudian ia meninggal saat istrinya masih dalam masa iddah,
maka istri dapat mewarisi harta peninggalan suaminya. Namun bila istrinya
meninggal dunia, maka suami tidak berhak mewarisi harta istrinya. Pendapat ini
dianut oleh Imam Syuraih, As-sa’by, Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i, yang
bersumber dari Umar r.a. dan Utsman r.a.[4]
3. Wala’
Wala’ adalah pewarisan
karena jasa seseorang yang telah memerdekakan seorang hamba. Wala’ disebut juga
dengan istilah wala’ul itqi dan/atau wala’un nikmah. Dikatakan wala’ul itqi, apabila seseorang
membebaskan hamba sahaya dengan seluruh barang-barang yang dimiliknya, sehingga
menimbulkan suatu ikatan antara hamba sahaya dengan orang yang membebaskannya.
Berdasarkan
syariat Islam, wala’ digunakan untuk memberi pengertian:
a)
Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena
membebaskan seorang hamba sahaya
Wala’ dalam arti
ini disebut juga wala’ul ataqah.
Wala’ jenis ini merupakan kekerabatan karena sebab hukum (ushubah sababiyah),
dan bukan karena adanya pertalian darah. Apabila seseorang telah membebaskan
atau memerdekakan hambanya, berarti ia telah merubah status hukum orang yang
semula tidak cakap bertindak menjadi cakap bertindak, termasuk memiliki dan
mengelola dan mengadakan transaksi-transaksi terhadap harta bendanya sendiri,
termasuk mampu melakukan tindakan hukum lainnya. Hal ini dianggap sebagai
imbalan atas kenikmatan yang telah dihadiahkan kepada hambanya, dan sebagai
jasa orang yang telah memerdekakan hamba tersebut. sebagaimana Rasulullah SAW
bersabda:
اِنَّمَاالْوَلَاءُلِمَنِ اعْتَقَ (متفق عليه)
Artinya: “Sesungguhnya hak wala’ itu bagi oramg yang
memerdekakannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah SAW menganggap
wala’ sebagai kerabat berdasarkan nasab, sebagaimana dalam sabdanya:
الْوَلَاءُلُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ لَايُبَاعُ
وَلَايُوْهَبُ (رواه الحاكم)
Artinya: “Wala’ itu ialah suatu kerabat sebagai
kerabat nasab yang tidak boleh dijual dan dihibahkan.” (HR. Hakim)
Berdasarkan hadits tersebut,
bagian yang diterima oleh wala’ adalah sebagaimana kedudukan barunya
dalam nasab, apakah dianggap sebagai saudara ataukah sebagai anak, dan
sebagainya. Dari hadits ini pula dapat diketahui bahwa orang yang mempunyai hak
wala’ (orang yang membebaskan hamba)
dapat mewarisi harta peninggalan hamba sahaya yang dimerdekakannya apabila
tidak terdapat ahli waris, dzawil arham maupun tidak memiliki suami/istri.
Namun apabila orang yang membebaskan tersebut
meninggal dunia, maka si hamba yang telah dibebaskan tidaklah mewarisi harta
bendanya. Golongan Ibadiliyah, yaitu segolongan Khawarij pengikut Abdullah Ibnu Ibaadl tidak membenarkan
sebab ini untuk menerima harta warisan.[5]
Suatu kasus semisal seorang Warga Negara
Indonesia (WNI) bekerja di Arab sebagai seorang asisten rumah tangga. Kondisi
daerah Arab yang cenderung ‘terkontaminasi’ sistem perbudakan mengakibatkan WNI
tersebut dianggap sebagai budak oleh sang majikan. Di saat sang majikan
meninggal, WNI tersebut menerima seluruh harta warisan atas pesan majikannya
sebelum meninggal sebagai akibat kewarisan dengan sebab wala’ karena
majikan tersebut tidak memiliki ahli waris. Menyikapi kasus seperti halnya
tersebut, hal ini tidak dapat dibenarkan. Pertama, si WNI tersebut
mengikuti sang majikan dengan sebab untuk bekerja dan bukan sebagai budak. Apalagi
setiap bulan WNI tersebut digaji tiap bulan, hal ini lebih menguatkan pada
konsepsi muamalah dalam hal ijarah. Selain itu, si WNI juga masih
memiliki hak atas dirinya, lain halnya dengan budak yang merupakan milik
seorang majikan dan tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Kedua,
adapun si WNI tersebut dapat menerima warisan dari sang majikan, dimana pesan
dari sang majikan sebelum meninggal tersebut merupakan wasiat. Kalaupun
itu wasiat maka ia hanya dapat menerima harta warisan sebanyak sepertiga dari
keseluruhan harta sang majikan.
b)
Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya
perjanjian tolong-menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan orang
lainnya
Wala’ dalam arti
ini disebut juga dengan wala’ul muwalah.
Misalnya seorang yang berjanji kepada orang lain, “Wahai saudara, engkau adalah
tuanku yang dapat mewarisi aku bila aku telah meninggal, dan dapat mengambil
diyat untukku bila aku dilukai seseorang”. Kemudian orang lain yang diajak
berjanji menerimanya. Dalam kasus ini pihak pertama disebut Al-Mawali atau Al-Adna, dan pihak kedua disebut Al-Mawala atau Al-Maulana.
Namun seiring dengan sudah tidak berlaku lagi sistem perbudakan di tengah
peradaban manusia di zaman sekarang ini, sebab mewarisi ini nyaris tidak lagi
terjadi.
Adapun
perjanjian saling setia dan tolong-menolong ini, oleh jumhur ulama dalam Kitab
Undang-undang Warisan Mesir telah dinasakhkan dan tidak dipandang sebagai sebab
untuk memperoleh harta warisan. Hanya ulama Hanafiyah saja yang masih
berpendapat bahwa ketentuan ini tidak dinasakh, akan tetapi penerimaan pusaka
atau pewarisan mereka harus diakhirkan setelah dzawil arham.
Terkait contoh pada wala’ul
muwalah di atas,
dalam pemaparannya belum diketahui bagaimana ketentuan yang harus dilakukan
dalam penerapannya karena terbatasnya informasinya yang membahas kasus
ini. Apakah harus dengan menggunakan saksi sebagaimana halnya wasiat ataukah
tidak. Namun apabila kita pahami sendiri lebih lanjut, maka hal tersebut
tergantung pada situasi dan kondisi pada masanya. Barangkali memang yang terjadi
pada masa dulu wala’ dapat dilakukan tanpa adanya saksi, karena
pada masa itu kejujuran sangatlah dijunjung tinggi. Namun untuk masa kini,
sepertinya memang hal itu tidak mungkin dilakukan lagi. Hal ini juga didukung
karena sistem perbudakan di tengah peradaban manusia di zaman sekarang
ini tidak berlaku lagi, sebagaimana disebutkan di atas.
4. Jihatul
Islam (Baitul Maal)
Setelah kita membahas tiga
sebab penerimaan harta warisan di atas, ada pula pertanyaan, “Bagaimana apabila
si muwarrits tidak memiliki ahli
waris?” atau “Bagaimana apabila harta warisannya tidak habis dibagi?”.
Dalam hal ini
golongan Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa ke-Islaman juga menjadi
sebab dalam pewarisan harta. Ini berarti apabila seseorang telah meninggal
dunia dan tidak memiliki ahli waris, atau ia mempunyai ahli waris tetapi harta
peninggalannya tidak habis dibagikan, maka peninggalan tersebut harus
diserahkan kepada Kas Perbendaharaan Negara. Sehingga penyetoran ini bukan
berdasarkan kemaslahatan atau kepentingan sosial, melainkan atas dasar secara ushubah.
Para ulama yang
berpegang teguh pada pendapat ini menjadikan sabda Rasulullah SAW sebagai
dasarnya.
اَنَاوَارِثُ مَنْ لَاوَارِثَ لَهُ اَعْقِلُ عَنْهُ
وَارِثُهُ (رواه ابوداود)
Artinya: “Saya adalah ahli waris bagi orang yang
tidak mempunyai ahli waris. Saya membayar dendanya dan mewarisi daripadanya.”
(HR. Abu Dawud)
Dalam hadits
tersebut dijalaskan bahwa meskipun Rasulullah SAW menjadi ahli waris bagi
orang-orang yang tidak memiliki ahli waris, akan tetapi beliau tidak mewarisi
untuk dirinya sendiri, melainkan membaginya untuk kepentingan umat Islam pada
umumnya. Begitu pula orang-orang Islam lainnya, mereka juga dibebani kewajiban
membayar diyat untuk saudaranya sesama Muslim yang tidak memiliki kerabat,
sehingga kedudukan mereka sagaikan ashabah
dalam lingkungan kerabat. Atas dasar tersebutlah para penguasa (pemerintah)
dapat memerintahkan agar harta benda tersebut diserahkan ke baitul maal atau
disimpan di tempat lain yang dipandang aman sebelum dibagikan sebagai dana
sosial untuk kepentingan umat Islam.
Hal ini juga tertuang dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana yang tertulis dalam BAB II, pasal 174,
yang isinya kelompok-kelompok ahli waris yang mendapat warisan terdiri dari dua
orang yaitu sebab sebab hubungan darah dan hubungan perkawinan. Jika tidak
mempunyai ahli waris, sesuai dengan KHI BAB III, pasal 191, maka harta benda
tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul
Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum.[6]
B.
Rukun Kewarisan
Suatu pewarisan atau lebih
dikenal dengan istilah pusaka-mempusakai memiliki 3 (tiga) rukun yang harus
terpenuhi. Dan apabila salah salah satu dari ketiga rukun ini tidak terpenuhi,
maka tidak terjadi pewarisan. Ketiga rukun tersebut adalah muwarrits, warist dan mauruts.
1.
Muwarrits
Muwarrits
berasal dari bahasa Arab (المُوَرِّث) yang sering diartikan sebagai pewaris,
yaitu orang memberikan harta warisan. Dalam sistem hukum waris Islam, muwarrits
adalah orang yang meninggal dunia dalam keadaan beragama Islam, baik meninggal
dunia secara haqiqy (sejati) maupun hukmy (menurut putusan hakim), yang
meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Hal ini sesuai dengan KHI Pasal 171 huruf b yaitu:
“Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli
waris dan harta peninggalan”. Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan
suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal
dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Seseorang yang masih hidup dan mengalihkan
haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan itu
dilakukan pada saat menjelang kematiannya. Dan harta yang dibagi waris haruslah
milik sendiri, bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara
bukanlah termasuk pewaris.
2.
Warits
Warits
(الوَارِث) sering diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu orang yang berhak mewarisi karena mempunyai
sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya ikatan kekerabatan (nasab), pernikahan
atau lainnya. Sedangkan pengertian ahli waris menurut KHI Pasal 171 huruf c
yaitu: “Ahli waris adalah orang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.
Berdasarkan
KHI Pasal 172, ahli waris yang dipandang beragama Islam disini adalah mereka
yang dapat diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau
kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa,
beragama menurut ayahnya atau lingkungannya. Termasuk dalam pengertian ini adalah bayi yang masih dalam kandungan.
Meskipun masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup melalui gerakan
(kontraksi) atau cara lainnya, maka bagi si janin tersebut mendapatkan harta warisan.
Hanya saja jumhur ulama mensyaratkan bayi tersebut dilahirkan dalam keadaan
hidup. Sebab di kala ia masih dalam kandungan, walaupun sudah dianggap hidup,
namun ia bukan hidup yang sebenarnya (di dunia). Hal ini didasarkan pada hadits
Rasulullah SAW.
اذااستهل
المولودورث (رواه اصحابالتن)
Artinya: “Apabila
anak yang dilahirkan itu berteriak, maka ia diberi warisan.”
Dengan demikian apabila lahir keadaannya telah
meninggal, maka ia tidak berhak menerima warisan. Dan apabila telah disediakan
harta warisan untuknya, maka harta itu hendaknya diberikan kepada ahli waris
lainnya.
Untuk itu, perlu diketahui batasan yang tegas mengenai
tenggang waktu minimal usia kandungan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui kepada
siapa janin tersebut akan dinasabkan. Para Imam madzab telah sepakat bahwa
tenggang waktu minimal untuk kandungan itu adalah 6 bulan.[7]
3.
Mauruts (Tirkah)
Di
kalangan ahli faraid, istilah mauruts
(المَوْرُوث) lebih dikenal dengan nama tirkah
atau harta peninggalan, yakni harta benda yang ditinggalkan oleh si mati yang
bakal dipusakai oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya perawatan,
melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat.[8]
Namun menurut KHI, antara harta warisan dengan harta
peninggalan memiliki perbedaan. Tidak semua harta peninggalan menjadi harta
warisan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, melainkan semua harta warisan
baik berupa benda maupun hak-hak harus bersih dari segala sangkut paut dengan
orang lain. KHI Pasal 171 huruf d menyebutkan, “Harta peninggalan adalah harta
yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya
maupun hak-haknya”, dan pada Pasal 171 huruf e, “Harta waris adalah harta bawaan
ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris
selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran
hutang dan pemberian untuk kerabat”.
Secara garis besar, mauruts atau tirkah dibagi menjadi
4 (empat), yaitu:
ü Tirkah yang berupa nilai kebendaan, baik berupa benda
maupun sifat. Seperti benda bergerak, benda tetap, piutang, denda wajib.
ü Tirkah yang berupa hak-hak kebendaan, seperti hak
monopoli untuk menarik hasil jalan tol, hak cipta, dan lainnya.
ü Tirkah yang berupa hak yang bukan kebendaan, seperti
hak khiyar dan hak memanfaatkan
barang yang diwasiatkan.
ü Tirkah yang berupa benda yang bersangkutan dengan hak
orang lain, seperti benda yang digadaikan oleh muwarrits, mahar yang belum diserahkan, pembelian yang barangnya belum diterima.
Dalam tirkah,
KHI telah mengatur adanya harta bersama atau hasil serikat yang akan dibagi
rata sebelum diwariskan kepada ahli waris. Sebagaimana diatur dalam instruksi
presiden RI No. 1 tahun 1991 pada Undang-undang Kompolasi Hukum Islam bab XIII
pasal 85, 87, 88-97. Misalnya, harta bersama milik suami istri. Bila suami
meninggal, maka harta itu harus dibagi dua terlebih dahulu untuk memisahkan
mana yang milik suami dan mana yang milik istri. Barulah harta yang milik suami
itu dibagi waris. Sedangkan harta yang milik istri, tidak dibagi waris karena
bukan termasuk harta warisan.
C.
Syarat-syarat
Kewarisan
Pada dasarnya pusaka-mempusakai atau
pewarisan berfungsi untuk menggantikan kedudukan dalam memiliki harta benda
antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang ditinggalkan. Oleh sebab itu, agar terjadi pusaka-mempusakai dalam hukum Islam terdapat syarat-syarat
kewarisan. Bilamana salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak
akan terjadi pewarisan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Meninggalnya Muwarrits
Meninggalnya pewaris mutlak harus dipenuhi, karena seseorang baru disebut pewaris setelah dia meninggal dunia. Yang berarti jika seseorang memberikan hartanya kepada ahli waris ketika dia masih hidup itu bukan waris, melainkan hibah (pemberian). Dan di dalam waris-mewaris kelak harta benda yang yang sudah diberikan tersebut tidak termasuk diperhitungkan. Untuk meninggal atau matinya seseorang yang dimaksud disini, para ulama membaginya menjadi tiga macam, yakni:
a) Mati haqiqi (sejati)
Mati haqiqi adalah kematian yang dapat disaksikan oleh panca indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian, dimana unsur kehidupan telah lepas dari jasad seseorang tanpa membutuhkan keputusan hakim.
b) Mati hukmy (menurut putusan hakim)
Mati hukmy adalah seseorang yang oleh hakim ditetapkan
telah meninggal dunia, meski jasadnya tidak ditemukan, baik pada hakikatnya
orang tersebut masih hidup maupun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati.
Misalnya, seorang yang hilang (mafqud) di dalam medan perang atau saat
bencana alam, lalu secara hukum formal dinyatakan kecil kemungkinannya masih
hidup dan kemudian ditetapkan bahwa yang bersangkutan telah meninggal dunia.
Dalam putusan kematian ini, para ulama berselisih pendapat tentang waktu mulai
boleh diputuskan kematian si mafqud.
· Imam Hanafi
berpendapat bahwa si mafqud boleh diputuskan kematiannya oleh hakim
apabila sudah tidak ada seorang pun dari kawan sebayanya yang masih hidup.
· Imam Maliki
berpendapat kematian si mafqud boleh diputuskan oleh hakim setelah 70
tahun dari kepergiannya.
· Imam Syafi’i dan
Syafi’iyah berpendapat agar si mafqud tersebut mencapai
usia 90 tahun beserta usia sewaktu bepergiannya (hilangnya).
· Imam Hambali dan Hambaliyah menetapkan usia 90 tahun sebagai batasan boleh
dihukumi meninggal. Selain itu beliau menetapkan
seseorang yang mendapatkan malapetaka, seperti
ikut perang,
dll., maka hakim memutuskan batasan bagiannya adalah
4 tahun.[9]
c) Mati taqdiri (menurut dugaan)
Mati taqdiri merupakan kematian seseorang yang didasarkan pada dugaan keras. Misalnya seorang ibu hamil dipukul perutnya atau dipaksa minum racun, maka kematian bayi tersebut diduga keras akibat pemukulan atau terkena racun.[10]
Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan
yang ditinggalkan oleh pewaris, perpindahan hak tersebut diperoleh melalui
jalan kewarisan. Ahli waris yang akan menerima harta warisan disyaratkan ia
hidup pada saat muwarrits-nya
meninggal dunia. Hidup yang dimaksud adalah hidup secara hakiki. Kepastian
hidup si ahli waris ini sangatlah penting. Sebab ada beberapa ahli waris yang
masih diragukan hidupnya, seperti orang hilang (mafqud), anak dalam
kandungan ataupun ahli waris yang meninggal bersamaan dengan si muwarrits.
Masalah orang hilang atau mafqud tergantung
pada putusan hakim. Apabila ia dinyatakan meninggal dunia sebelum meninggalnya muwarrits, maka tidak ada persoalan
dengan hal tersebut. Karena mereka yang meninggal dunia sebelum meninggalnya muwarrits tidak dapat dikatakan sebagai
ahli waris. Dan apabila keputusan hakim menyatakan bahwa ia masih hidup sebelum
meninggalnya muwarrits, maka
kewarisan yang menjadi bagiannya ditahan
terlebih dahulu sampai batas yang ditentukan. Dan apabila di kemudian hari ia muncul
dalam keadaan hidup, maka warisan yang menjadi bagiannya tersebut diserahkan
sesuai dengan ketentuan hukum waris masing-masing. Namun jika sampai batas yang
ditentukan ia tidak hadir juga, maka warisan yang menjadi bagian si mafqud
tersebut dapat diberikan kepada ahli waris lainnya.
Mengenai masalah anak dalam kandungan, ia berhak
mendapatkan harta warisan apabila ia lahir dalam keadaan hidup. Tetapi apabila
ia lahir dalam keadaan meninggal dunia sesudah meninggalnya muwarrits dan diduga meninggalnya karena
dipukul atau dianiaya, maka menurut ulama Hanafiyah ia berhak menerima apa yang
diwasiatkan untuknya dan memiliki diyatnya, serta menghalang-halangi ahli waris
lainnya apabila ia lahir dalam keadaan hidup. Sedangkan menurut golongan Maliki
dan Syafi’i, bayi
dalam kandungan tersebut dianggap hidup atas diyatnya saja, dan diyat inilah
yang akan diwarisi oleh ahli warisnya. Madzab Robi’ah dan Al-Laits berpendapat
bayi dalam kandungan itu tidak menerima harta warisan dan tidak pula
mewariskannya kepada orang lain, sebab tidak dapat dipastikan ia itu hidup
waktu pemukulan atas ibunya dan tidak pula dapat ditentukan meninggalnya
disebabkan pemukulan itu.[11] Dan diyat
untuknya hanya akan dimiliki oleh ibunya sendiri. Dewasa ini kemajuan ilmu
kedokteran dapat memberikan bantuan dalam mengatasi masalah tersebut.
Selain orang hilang (mafqud) dan bayi dalam
kandungan ialah ahli waris yang meninggal bersamaan dengan si muwarrits. Hal
seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama
meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, kebakaran, tertimpa
puing atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang
tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Dan
jika keduanya mempunyai harta
benda, maka
harta benda tersebut akan diwarisi oleh ahli warisnya yang masih
hidup.[12]
Dalam kasus lain, misal seorang anak yang telah meninggal terlebih dahulu dari
ayahnya, tidak akan mendapatkan warisan. Meski anak itu telah memiliki istri
dan anak. Istri dan anak itu tidak mendapatkan warisan dari mertua atau kakek
mereka. Sebab suami atau ayah mereka meninggal lebih dulu dari kakek. Jalan
keluar dari masalah ini ada tiga kemungkinan. Pertama,
dengan wasiyah wajibah, yaitu si kakek berwasiat semenjak masih hidup
agar cucu dan menantunya diberikan bagian harta. Bukan dengan jalan warisan,
melainkan dengan cara wasiat. Kedua, bisa juga dengan cara
kesepakatan di antara para ahli waris untuk mengumpulkan harta dan diberikan
kepada saudara ipar atau kemenakan mereka. Ketiga, dengan cara hibah,
yaitu si kakek sejak masih hidup telah menghibahkan sebagian hartanya kepada
cucunya atau menantunya, sebab dikhawatirkan nanti pada saat membagi warisan,
cucu dan menantunya tidak akan mendapat apa-apa.
Terkait dengan
kewarisan mafqud dan anak yang masih dalam kandungan, untuk lebih
jelasnya maka akan dipaparkan senagai berikut.
Kewarisan Mafqud
Terkait dengan mafqud
ini sedikit diulang dari pembahasan di atas. Namun sebelumnya, berkenaan dengan
kewarisan mafqud ini perlu diketahui tentang kedudukannya.
a) Apakah dia sebagai mawarrits
(orang yang mewariskan), atau
b) Apakah dia sebagai warits (orang
yang mewarisi).
Jika dia sebagai
orang yang mewariskan (mawarrits), selama belum ada keputusan dari hakim
tentang meninggalnya/perginya, maka harta benda itu tidak boleh dibagi. Begitu
pula ketika dia menjadi orang yang mewarisi (warits), sebelum ada
keputusan dari hakim, maka harta benda itu tetap menjadi haknya (ditahan
terlebih dahulu). Dan apabila telah diputuskan oleh hakim, maka harta tersebut
bisa dibagikan. Dan andaikata harta benda tersebut sudah terlanjur dibagikan
setelah adanya keputusan dai hakim kemudian si mafqud kembali, maka
harta benda tersebut harus dikembalikan kepadanya, walaupun tinggal sedikit.
Bagi orang yang mewarisi hartanya (setelah menggunakannya sebagian atau
seluruhnya), maka dia tidak terkena beban untuk mengembalikan, ketika hartanya
sudah habis pada saat kembalinya si mafqud.[13]
Dan jika si mafqud tersebut berkedudukan sebagai warits, maka
harta yang ditangguhkan tersebut harus diberikan kepadanya ketika ia kembali.
Namun jika benar-benar sudah dihukumi/diputuskan meninggal, maka harta tersebut
akan diwarisi oleh ahli warisnya yang lain.
Seperti
keterangan di atas, bahwa si mafqud mempunyai dua kedudukan, yaitu
sebagai muwarrits maupun sebagai warits. Apabila berkedudukan
sebagai muwarrits, maka harta itu ditahan sampai jelas benar kematiannya
oleh putusan hakim. Sedang apabila ia sebagai warits, hendaknya
diperhatikan 2 (dua) ketentuan:
ü Jika ia dapat menghijab, maka pelaksanaan
itu ditangguhkan sampai benar-benar matinya si mafqud.
ü Jika ia tidak menghijab, maka yang ditahan hanya milik
si mafqud, sedang harta milik ahli waris lain dapat diberikan.
Adapun bagian
yang diterima si mafqud adalah bagian yang terkecil dari dua perkiraan,
yakni ketika dihukumi sudah meninggal dan dihukumi ketika masih hidup. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh syair berikut:
وَاحْكُمْ عَلَى الْمَفْقُوْدِ حُكْمَ الْخُنْثَى* اِنْ ذَكَرًا
كَانَ اَوْ هِوَ اُنْثَى[14]
Artinya:
“Hukumilah terhadap mafqud seperti khunsa. Ketika dia dalam keadaan
laki-laki atau ketika sebagai wanita.”
Jika
dalam khunsa musykil, dia dapat diputuskan dalam kedudukan sebagai
laki-laki atapun kedudukan sebagai perempuan. Sedang pada mafqud ini,
dia dapat diputuskan sebagai orang yang sudah meninggal atau dalam keadaan
masih hidup.
Dalam
menyelesaikan pembagian harta warisan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang
mafqud, maka dapat ditempuh dengan cara:
a.
Dihitung
ketika mafqud dianggap sudah meninggal dan ketika dianggap masih hidup
dengan bagiannya masing-masing.
b.
Mencari
asal masalah musytarakah untuk menyamakan nilai tiap saham.
c.
Diberikan
bagian yang terkecil dari dua perkiraan tersebutkepada masing-masing ahli
waris, sedang sisanya ditahan dulu hingga ada keputusan dari hakim.
3.
Diketahuinya Pertalian antara Warits dengan Muwarrits
dan Tidak
Adanya Penghalang (Hijab) untuk Mewarisi
Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal
dunia, maka haruslah diketahui secara pasti jelas hubungan antara keduanya, termasuk
jumlah bagian masing-masing, seperti hubungan suami-isteri, hubungan
orangtua-anak dan hubungan saudara, dan sebagainya. Sehingga pembagi mengetahui
dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli
waris. Sebab dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan
membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan
bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan
apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka
masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena
sebagai ahlul furudh, ada yang karena
ashabah, ada yang terhalang hingga
tidak mendapatkan warisan (mahjub),
serta ada yang tidak terhalang. Terhalangnya seseorang menjadi pewaris bisa
disebabkan karena perbudakan, pembunuhan, berlainan agama dan berlainan negara.
Mengenai hijab tersebut akan
diterangkan pada bagian lain.
Dengan syarat di atas diharapkan, para ahli waris
berupaya untuk tidak melakukan hal-hal yang sekiranya dapat menolaknya untuk
menerima harta peninggalan si pewaris.
D.
Perbandingan Hukum Waris Islam dengan Waris Lainnya
Apabila kita menilik antara
syarat hukum waris Islam dengan hukum waris lainnya, tentunya akan diketahui
perbedaan yang berkaitan dengan sebab, rukun dan syarat kewarisan. Perbedaan
ini akan kita peroleh seperti apabila kita membandingkan hukum waris Islam
dengan hukum waris menurut adat, atau dengan Sistem Hukum Kewarisan Perdata
Barat yang termaktub dalam Burgelijk
Wetboek atau lebih kita kenal dengan istilah KUH Perdata.
1)
Hukum Waris Islam dengan KUH Perdata (Burgelijk Wetboek)
a. Sebab Kewarisan
Dalam hukum waris Islam, yang menjadi sebab-sebab
terjadinya kewarisan antara lain karena kekerabatan/nasab, pernikahan, wala’ dan juga jihatul maal (golongan Syafi’iyah
dan Malikiyah). Sedangkan menurut KUH Perdata sebab atau cara seseorang dalam
mewarisi yaitu:
§ Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang (ab
intestate), sesuai dengan Pasal 832 KUH Perdata
§ Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testamentair),
sesuai dengan Pasal 874 KUH Perdata
b. Rukun Kewarisan
· Berhubumg KUH Perdata merupakan warisan dari sistem hukum
Belanda, maka penggunaan istilah yang digunakan yakni: Erflater (pewaris), Erfgenaam
(ahli waris), dan Erftenis, Nalatenschap (harta warisan).
· Mengenai harta warisan. Hukum Islam memandang bahwa
apa yang dapat diwarisi oleh si ahli waris tidak hanya berupa harta benda saja,
melainkan juga hak-hak dan kewajiban yang dimiliki oleh si pewaris. Namun dalam
KUH Perdata, beberapa hak yang dimiliki si pewaris tidak dapat diwarisi,
seperti hak memungut hasil, perjanjian perburuhan, dan perjanjian perkongsian dagang.
· Kedudukan orang hilang menurut Hukum Waris Perdata,
untuk memutuskannya harus melalui keputusan hakim yang memiliki kekuatan hukum.
Sedangkan dalam Hukum waris Islam, para ulama sepakat bahwa orang hilang tetap
dianggap masih hidup selama masa hilangnya dan karenanya harta miliknya tidak
dapat dibagikan kepada ahli waris dan juga istrinya tetap status sebagai istri.[15]
c. Syarat Kewarisan
Ø Yang menjadi syarat menerima warisan dalam hukum
perdata ini, yakni: Pertama, Pewaris
telah meninggal dunia. Kedua, Ahli
waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia. Pada
bagian ini KUH Perdata sedikit berbeda pandangan dengan hukum Islam, dimana
ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna ketentuan KUH Perdata pasal 2,
“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah
dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya”, dan apabila ia
meninggal saat dilahirkan, maka ia dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian, berarti
bayi dalam kandungan juga sudah diatur haknya oleh hukum sebagai ahli waris dan
telah dianggap cakap untuk mewaris. Ketiga,
Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris.
Ø Berkaitan dengan perihal tidak terhalangnya seseorang
dalam mewarisi, dalam hukum waris Islam perbedaan agama menjadi penghalang
kewarisan. Tetapi masalah perbedan agama ini tidak termuat dalam KUH Perdata,
khususnya pada pasal 838.
2) Hukum Waris
Islam dengan Hukum Adat
a. Sebab Kewarisan
Apabila dalam hukum kewarisan Islam, yang menjadikan
seseorang dapat mewarisi harta karena sebab kekerabatan/nasab, pernikahan, wala’ dan juga jihatul maal (golongan
Syafi’iyah dan Malikiyah), maka dalam hukum adat yang berlaku di Indonesia
sebab-sebab tersebut antara lain:
· Sebab Keturunan. Keturunan dalam hal ini yang
diutamakan adalah anak sebagai ahli waris utama yang mempunyai ketentuan
berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan sifat kekeluargaannya di berbagai daerah
dimana ia tinggal.
· Sebab Perkawinan. Berkaitan dengan sebab ini, tidak
semua istri atau suami yang ditinggal mati pasangannya dapat menjadi ahli
waris, hal ini pula bergantung dengan adat dimana ia tinggal.
· Sebab Adopsi. Menurut hukum adat, anak angkat mendapat
warisan sebagaimana anak kandung. Namun ia kadang dianggap orang asing dalam
beberapa adat di daerah tertentu. Anak angkat tersebut berhak mwarisi selaku
anak sepanjang adopsi itu melenyapkan sifat unsure asing dan menimbulkan sifat
anak.
· Masyarakat Jauh. Apabila ahli waris tidak ada sama
sekali, maka harta peninggalan yang ada jatuh kepada masyarakat setempat di
bawah kekuasaan kepala masyarakat.
b. Rukun Kewarisan
Pada hukum waris adat, selain harus memenuhi ketiga
unsurnya, yakni adanya pewaris, ahli waris dan harta warisan, juga terdapat unsur
keempat, yaitu penerusan dan pengoperan harta waris. Adapun perbedaan lainnya
seperti:
o
Berdasarkan sistem adat, harta warisan bukan merupakan kesatuan yang
dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau
dapat terbagi tetapi menurut jenis dan kepentingan ahli waris. Sedang menurut
sistem hukum barat dan hukum Islam, harta warisan dihitung sebagai kesatuan
yang dapat dinilai dengan uang.
o
Dalam hukum adat tidak mengenal asas legitieme
portie (bagian mutlak) sebagaimana diatur dalam hukum barat dan hukum
Islam.
o
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk menuntut
pembagian harta warisan dengan segera.
c. Syarat Kewarisan
Dalam syarat kewarisan yang salah satunya mengenai
hidupnya ahli waris pada saat meninggalnya si pewaris, antara hukum waris Islam
dengan hukum adat memiliki pandangan yang berbeda. Hukum waris Islam mengatakan
bahwa seseorang yang berhak mewarisi hanyalah ahli waris yang masih dalam
keadaan hidup. Sedangkan menurut hukum adat, apabila ahli waris telah meninggal
dunia terlebih dahulu daripada meninggalnya si pewaris, maka posisi atau
kedudukannya bisa digantikan oleh anak-anak dari si ahli waris yang
bersangkutan.
3) Hukum Waris
Islam dengan KHI
a. Sebab Kewarisan
Dalam hukum waris Islam, yang menjadi sebab-sebab
terjadinya kewarisan antara lain karena kekerabatan/nasab, pernikahan, wala’ dan juga jihatul maal (golongan
Syafi’iyah dan Malikiyah). Berbeda dengan KHI, dimana dalam Pasal 174 (1)
kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari hubungan darah dan perkawinan. Selain
itu, hukum waris Islam menganggap anak angkat bukanlah ahli waris. Tetapi dalam
KHI anak angkat dapat memperoleh warisan melalui wasiyat wajibah yang maksimal 1/3 dari keseluruhan harta,
sebagaimana dalam pasal 209.
b. Rukun Kewarisan
Perihal rukun kewarisan ini, dalam KHI tidak terlalu
ditekankan mengenai orang hilang (mafqud) dan bayi dalam kandungan.
c. Syarat Kewarisan
Berhubung KHI merupakan produk
kombinasi hukum Islam dengan hukum adat yang berlaku di Indonesia, maka antara
KHI dengan hukum adat terkadang mempunyai beberapa pandangan yang sama. Seperti
pada syarat kewarisan hidupnya ahli waris saat meninggalnya si pewaris, KHI
dalam pasal 185 (1) juga menganggap bahwa ahli waris yang sudah meninggal
terlebih dahulu kedudukannya bisa digantikan oleh anaknya. Sama halnya pula
mengenai perbedaan agama. Dalam KHI pasal 173, perihal perbedaan agama sebagai
penghalang kewarisan ini juga tidak tercantum.
DAFTAR PUSTAKA
Asari, Imam. 2012. Jurnal
Ilmiah: Kedudukan Orang Hilang dalam Perspektif Kewarisan KUHPerdata (BW) dan
Hukum Kewarisan Islam. Diakses pada tanggal 23 Maret 2015 pukul 19.08 WIB.
Abta, Asyhari dan Djunaidi Abd. Syakur. 2005. Ilmu Waris, Al-Faraidl: Deskripsi Hukum
Islam, Praktis dan Terapan. Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana.
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama RI. 1986. Ilmu Fiqh 3,
cet. 2. Jakarta: Departemen Agama RI.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI.
2000. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Jakarta: Departemen Agama RI.
Sarwat,
Ahmad. 2010. Fiqih Mawaris, cet. 4.
Jakarta: DU Center Press.
Umam, Dian Khairul dan Maman Abd Djaliel. 1999. Fiqih Mawaris. Bandung: CV Pustaka Setia.
[1] Dian Khairul Umam dan Maman Abd Djaliel, Fiqih Mawaris, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hal. 18.
[2] Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama
RI, Ilmu Fiqh 3, cet. 2, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 1986), hal. 34.
[4] Dian Khairul Umam dan Maman Abd Djaliel, Fiqih Mawaris, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hal. 23-24.
[5] Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama
RI, Ilmu Fiqh 3, cet. 2, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 1986), hal. 35.
[6] Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al-Faraidl: Deskripsi Hukum Islam, Praktis dan Terapan,
(Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), hal. 32.
[9] Ibid.,
hal. 218.
[11] Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama
RI, Ilmu Fiqh 3, cet. 2, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 1986), hal. 19.
[12] Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al-Faraidl: Deskripsi Hukum Islam, Praktis dan Terapan,
(Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), hal. 30.
[13] Ibid.,
hal. 208.
[14] Ibid.,
hal. 209.
[15] Imam Asari, Jurnal Ilmiah:
Kedudukan Orang Hilang dalam Perspektif Kewarisan KUHPerdata (BW) dan Hukum
Kewarisan Islam. (2012), Diakses pada tanggal 23 Maret 2015 pukul 19.08
WIB.
Komentar
Posting Komentar