Resume: HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
A.
MODEL-MODEL HUKUM PENALARAN
1. Positivisme dan Empirisme Logis
Ada banyak teori
yang menjadi inspirasi dari Positivisme Logis yang kemudian berkembang menjadi
Empirisme Logis ini, di antaranya Teori Relativitas dari Albert Einstein
(1879-1955), teori tentang logika formal dan aritmetika dari Gottlob Frege
(1848-1925), dan sebagainya. Positivisme yang dirintis oleh Auguste Comte
(1798-1857) memang menggugah banyak pemikir di bidang epistemologi yang
wacananya sempat tenggelam akibat Perang Dunia I. Barulah setelah perang usai
Positivisme menampilkan corak baru yang disebut Neopsitivisme atau Positivisme
Logis. Pemikiran ini dibawa oleh suatu aliran filsafat yang muncul pada
tahun1924 di Austria yang dikenal dengan nama Lingkarang Wina (Vienna Circle atau Der Wiener Kries), dengan tokoh utamanya Ernst Mach (1838-1916),
Moritz Schlick (1882-1936), dan Rudolf Carnap (1891-1970). Teori yang dibawa
aliran Positivisme Logis berpegang pada empat asas, yakni Empirisme,
Positivisme, logika, dan kritik ilmu.
Pada awal Perang Dunia II,
Positivisme Logis digantikan oleh Empirisme Logis yang mempersempit teori
pengetahuan dari Positivisme Logis. Menurut Empirisme Logis, asas yang relevan
cukup dua saja, yakni empirisme dan logika. Asas Empirisme ini mengandalkan
pengalaman langsung, berbanding terbalik dengan Positivisme yang berkeyakinan
jika logika sebagai asas ketiga memberi isyarat bahwa analisisnya harus logis
dan asas kritik ilmu mengandung arti bahwa Positivisme dan Empirisme Logis
mengemban tugas untuk mencari ilmu yang berkesatuan (unified science) yang harus dikonstruksikan dari setiap ilmu dengan
bahasa yang universal (the logic of
science).
Jika Positivisme Logis lebih
mendudukkan subjek di atas segalanya dengan kepastian yang tinggi, maka
Empirisme Logis justru menginginkan tercapainya komunikasi intersubjektif
sekalipun harus mengorbankan kepastian. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan Positivisme Logis adalah bahwa pengetahuan tidak mungkin lebih pasti
daripada itu, sedangkan kekurangannya
adalah bahwa sepenuhnya pengamatan itu bersifat subjektif. Adapun
kelebihan Empirisme Logis adalah bahwa ia memakai intersubjektivitas sebagai
kriteria pengetahuan ilmiah, sedangkan kekurangannya adalah bahwa pengetahuan
tidak pernah dapat memberi kepastian.
2. Rasionalisme Kritis
Rasionalisme Kritis
muncul untuk mengkritisi Positivisme Logis, dengan tokoh besarnya adalah Karl
R. Popper (1902-1994). Popper menolak keras peolehan pengetahuan ilmiah melalui
induksi. Menurutnya, adalah mustahil menarik kesimpulan yang berlaku umum tanpa
terikat ruang dan waktu berdasarkan premis-premis spesifik dengan jumlah yang
terbatas, sehingga menurut Popper bahwa penalaran yang tepat adalah dengan
deduktf.
Popper juga berpendapat bahwa
teori hanyalah ciptaan manusia sebagai bentuk pendugaan atau pengiraan, yang
berarti teori tidak pernah benar mutlak. Ilmu baru dapat berkembang jika setiap
teori secara terus menerus diuji kebenarannya dengan menunjukkan kesalahan
(anomali) dari teori itu, bukan sebaliknya. Di sini Popper memperkenalkan
istilah “falsifikasi” sebagai lawan dari “verifikasi”, yang mana falsifikasi
ini menjadi kriterium bagi Popper sebagai prinsip demarkasi untuk membedakan
antara ilmu dan non-ilmu.
3. Empirisme Analitis
Teori ilmu kaum
Empirisme Analitis dibangun dengan semangat untuk mengatasi kekurangan
Positivisme dan Emprisme Logis, dan Rasionalisme Kritis. Sekalipun demikian,
menurut Wuisman, teori yang dikemukakan Empirisme Analitis bukan penggabungan
murni dari kedua aliran berpikir di atas, melainkan hanya suatu penyesuaian
lebih lanjut dari model penelitian ilmiah yang dikembangkan oleh Positivisme
dan Empirisme Logis pada titik-titik kritik yang dilontarkan terhadapnya oleh
Rasionalisme Kritis. Empirisme Analitis menggambarkan proses penelitian ilmiah
sebagai sebuah siklus (daur). Teori ini timbul dalam hubungan dengan
usaha-usaha untuk menerapkan Positivisme dan Empirisme Logis pada bidang studi
ilmu sosial tertentu, misalnya De Groot dalam bukunya “Methodologie” (1975) berusaha menerapkannya pada bidang psikologi.
Sama seperti teori terdahulu, Empirisme Analitis bermaksud menerangkan tentang
apa itu pengetahuan ilmiah, bagaimana ilmu berkembang dan metode penelitian apa
yang cocok dipakai untuk mengembangkan ilmu.
4. Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis
Model penalaran ini
dibicarakan bersama-sama karena pertimbangan bahwa tulang punggung dari
Konstruktivisme Kritis adalah interaksi timbal balik yang interpretatif antara
“teori” dan “empiri”. Hubungan antara dua kubu dalam model logika formal ini
oleh Wuisman dinamakan dengan “lingkaran pemahaman” atau “lingkarang
hermeneutis”. Jadi, tidak mungkin ada model penalaran yang disebut Konstruktivisme
Kritis tanpa soko gurunya, Hermeneutika.
Hermeneutika memperkuat penolakan terhadap upaya
menuju ke pencarian ilmu yang berkesatuan. Salah satu tokoh Hermeneutika adalah
Dilthey yang berpandangan bahwa Hermeneutika berjalan menurut dua prinsip,
yaitu: Pertama, prinsip
ketidakterpisahan antara usaha mengenal sesuatu dan memberikan penilaian (valuation) terhadapnya; dan Kedua, prinsip keharusan mengaitkan
upaya memahami itu dengan konteks luas untuk mengembangkan pemahaman.
Khusus dalam rangka
menelaah model penalaran yang menggunakan Hermeneutika dan Konstruktivisme
Kritis, Wuisman menggunakan metode interpretasi (hermeneutics) sebagai pola penalarannya.
B. MODEL-MODEL PENALARAN HUKUM
1. Aliran Hukum Kodrat
Aliran Hukum Kodrat
menempatkan ontologi hukum pada tataran yang sangat abstrak, di mana hakikat
hukum dalam arti yang sebenarnya dimaknai lebih sebagai asas-asas daripada
norma. Keberadaan hukum positif tetap diakui eksistensinya, namun hukum positif
ini dapat serta merta terancam keberadaannya seandainya tidak memenuhi
persyaratan moralitas yang dibebankan oleh hukum kodrat. Pemaknaan hukum
sebagai asas-asas kebenaran dan keadilan dalam Aliran Hukum Kodrat disokong
oleh paham idealisme. Menurut paham ini, gagasan kebenaran dan keadilan itu tidak
datang dari pengalaman, melainkan mendahului pengalaman (apriori bukan
aposteriori).
Secara umum, pola penalaran
Positivisme Hukum dan Aliran Hukum Kodrat bercorak sama. Perbedaannya hanya
pada batas tertinggi dari hierarki hukum tersebut.pada Positivisme Hukum, wujud
hukum tertinggi sekaligus sebagai sumber hukum tertingginya adalah hukum
positif itu sendiri. Sedangkan pada Aliran Hukum Kodrat, hierarki hukum itu
dibuka lebih jauh ke atas, sehingga “closed
logical system” yang mengunci pola penalaran Positivisme Hukum diberi ruang
lebih luas pada Aliran Hukum Kodrat.
2. Positivisme Hukum
Dalam definis paling
tradisional tentang hakikat hukum, Positivisme Hukum dimaknai sebagai
norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan. Dari segi ontologi,
pemaknaan yang demikian mencerminkan penggabungan antara idealisme dan
materialisme. Penjelasan mengenai hal ini dapat mengacu pada Teori Hukum
Kehendak (The Will Theory of Law)
dari John Austin dan Teori Hukum Murni (The
Pure Norm Theory of Law) dari Hans Kelsen.
Berbeda dengan Aliran Hukum Kodrat yang sibuk
dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia, maka pada Positivisme Hukum
aktivitasnya justru diturunkan kepada permasalahan konkret. Masalah validitas
(legitimasi) aturan tetap diberi perhatian, tetapi standar regulasi yang
dijadikan acuannya adalah juga norma-norma hukum. Jika Aliran Hukum Kodrat
memiliki kekuatan argumentasi pada wacana validasi (legitimasi) hukum buatan
manusia, maka kekuatan argumen Positivisme Hukum terletak pada aplikasi
struktur norma positif itu ke dalam struktur kasus-kasus konkret.
Positivisme Hukum
sendiri pernah mencoba untuk menjawab pertanyaan tentang tata cara memvalidasi
norma positif itu. Hans Kelsen relatif berhasil ketika menjelaskan adanya
sistem hierarkis dari norma-norma positif. Masalahnya baru timbul ketika ia
sampai kepada puncak sistem hierarki, yaitu Grundnorm
(norma dasar) yang hadir secara apriori dan relatif permanen, sehingga hal
ini memaksa Positivisme Hukum membuka sedikit celah dari kekukuhan argumentasi
dan ketertutupan sistem logika. Akibatnya, norma dasar ini berada di wilayah
perbatasan antara hukum dan moral. Ketegasan Positivisme Hukum untuk
menghilangkan persyaratan koneksitas antara hukum dan moral membuat ranah
aksiologis aliran ini hanya terbatas pada pencapaian kepastian hukum.
3. Utilitarianisme
Model penalaran
hukum Utilitarianisme pada dasarnya berangkat dari titik tolak yang sama dengan
Positivisme Hukum. Misalnya konsep pemikiran John Austin yang memiliki kesamaan
dengan tokoh Utilitarianisme, Jeremy Bentham. Positivisme Hukum menjadi berbeda
dengan Utilitarianisme karena gerakan pemurnian hukum yang dilakukan Kelsen.
Utilitarianisme dalam konteks ini sebenarnya memberi nilai tambah pada
Positivisme Hukum, namun ironisnya juga membuat hukum kehilangan kemurniannya
seperti diinginkan Kelsen. Menurut Utilitarianisme, kondisi ini tidak mungkin
dihindari karena hukum tidak lagi bergerak dalam ruang steril dan sistem logika
yang tertutup rapat.
Jika model penalaran ini
dituangkan dalam putusan hakim, maka putusan tersebut tidak sekadar mengacu
pada kepastian semata, melainkan juga kemanfaatan bagi pihak-pihak terkait
dalam arti luas. Sehingga model penalaran Utilitarianisme ini sulit dibedakan
dengan [American] Sociological Jurisprudence. Di samping itu, karena basis dari
Utilitarianisme ini sama dengan Positivisme Hukum, maka model penalaran ini
dapat dianggap sebagai modifikasi dari Legisme, yaitu bentuk Positivisme Hukum
yang paling konservatif. Oleh karenanya, tidak heran bahwa model penalaran ini
dapat diterima baik di kawasan keluarga sistem common law maupun civil law,
dengan tokoh pendukung utamanya Bentham (1748-1832), Rudolf van Ihering (1818-1892),
dan Holmes (1841-1935).
4. Mazhab Sejarah
Pola penalaran yang
dikembangkan oleh Madzhab Sejarah pada dasarnya tidak melewati langkah-langkah
yang sistematis, sehingga model penalarannya sangat alami, bukan sesuatu yang
didesain khusus, dan konsistem pada pernyataannya bahwa hukum tidak dibuat
melainkan tumbuh bersama degan masyarakat (Das
Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke). Model penalaran
Mazhab Sejarah jelas sangat kuat bernuansa sosiologis-antropologis, yang
menggunakan gaya bernalar kaum pengamat (toeschouwer).
Untuk kondisi Indonesia,
kasus-kasus yang terkait dengan model penalaran Mazhab Sejarah cenderung hanya
bergerak dalam koridor perkara-perkara adat. Oleh karena itu, hakim yang
mengadili kasus-kasus demikian dituntut untuk menyadari sejak awal tentang
adanya pola penalaran yang khas Mazhab Sejarah, sehingga ia tidak terjebak pada
proposisi yang dibangun dari norma positif dalam sistem perundang-undangan.
5. [American] Sociological Jurisprudence
Sociological
Jurisprudence adalah model penalaran yang lahir dalam sistem hukum Anglo-Amerika.
Meski demikian, model penalaran ini telah banyak dimodifikasi, khususnya
tatkala sistem hukum lain mencoba mengakomodasikannya. Teori Hukum Pembangunan
sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja termasuk tawaran model
penalaran yang diderivasi dari [American] Sociological Jurisprudence tersebut.
Kata “American” dalam uraian ini sengaja disisipkan sekadar mempertegas bahwa
model yang dibicarakan adalah orientasi berpikir yuridis Sociological
Jurisprudence dalam coraknya yang genuine,
mengikuti konsep awal pemikiran Roscoe Pound, yang dikenal sangat bangga dengan
sistem hukum versi Amerika Serikat.
[American] Sociological
Jurisprudence adalah sitesis dari dua aliran filsafat hukum, yaitu Positivisme
Hukum dan Mazhab Sejarah. Ada panndangan bahwa Positivisme Hukum merupakan
tesis sedangkan Mazhab Sejarah sebagai antitesis. Model penalaran ini juga
dapat diperbandingkan dengan Utilitarianisme, yang mana perbedaan mencolok dari
keduanya adalah pada gerakan linear dan simultan dari masing-masing pola
penalaran.
6. Realisme Hukum
Model penalaran
Realisme Hukum dianggap sebagai model yang mengambil posisi paling bertolak
belakang (paradoksal) dengan Positivisme Hukum. Ketidakpercayaan kaum realis
terhadap norma positif berpuncak pada ketidakpercayaan mereka pada konsep the rule of law. Realisme Hukum
mengartikan hukum sebagai manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial,
di mana hal ini sangat jauh dari nuansa filsafat dan lebih menjurus kepada
kombinasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti sosiologi, psikologi,
antropologi, dan ekonomi.
Lazimnya Realisme Hukum dibedakan dalam dua
versi, yaitu Realisme Amerika dan Realisme Skandinavia. Realisme Hukum versi
Amerika dianggap lebih memberi perhatian pada perilaku (behaviour orientation), di sisi lain Realisme Skandinavia lebih
mempersoalkan landasan metafisis hukum. Jika rekannya di Amerika bersikap rule-sceptics, maka kaum Realis
Skandinavia bersikap methaphysic-sceptics
degan titik berat pada keseluruhan sistem hukum, bukan sekadar perilaku
pengadilan.
Banyak kalangan
menilai bahwa cara berpikir Realisme Hukum sangat spekulatif jika ia ingin
mengatasi ketidakpercayaan pada the rule
of law melalui pemberian kebebasan yang besar kepada hakim. Apabila selama
ini diyakini bahwa hakim selalu bertindak berat sebelah karena senantiasa
memihak kaum the have, maka tentu
tidak ada jaminan bahwa independensi yang diberikan kepada para hakim itu lalu
akan mengubah hakim benar-benar bertindak impartial. Theodore M. Benditt bahkan
menilai gagasan penciptaan hukum oleh hakim ini bertentangan dengan semangat
demokrasi mengingat tugas ini seharusnya berada di tangan wakil-wakil rakyat,
sedangkan hakim bukan orang-orang yang dipilih langsung oleh rakyat.
C. PENGEMBANAN HUKUM TEORETIS DALAM PENALARAN
HUKUM KONTEKS KEINDONESIAAN
1. Kajian Teori Hukum
Teori hukum adalah
suatu cabang disiplin hukum yang barutumbuh pada era tahun 1970-an. Meski
demikian, sebelum disiplin ilmu ini tumbuh, bukan berarti kajian-kajian
interdisipliner sebagai siri khas teori hukum belum pernah dilakukan.
Model-model penalaran hukum sebagaimana dikemukakan di atas yang dikenal
sebagai aliran-aliran filsafat hukum sebenarnya juga dapat dianggap buah
penalaran hukum dari para pengemban hukum teoretis di wilayah kajian teori
hukum. Model-model penalaran itu disebut aliran-aliran filsafat hukum karena
filsafat hukum sebagai metadisiplin terhadap teori hukum (dan juga terhadap
ilmu hukum) itu telah memberi landasan kefilsafatan bagi keberadaan teori hukum
tentang model-model penalaran itu.
Teori hukum berupaya untuk
mengolah semua hasil penelitian berbagai disiplin ilmiah yang objeknya hukum,
menjadi suatu keseluruhan agar dapat menarik pembentukan konsep-konsep yuridis
yang baru guna pengembanan ilmu hukum dalam menanggulangi masalah-masalah hukum
lama, serta untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat
bagi filsafat hukum. Menurut B. Arief Sidharta, teori hukum adalah disiplin hukum
yang secara kritis dalam perspektif interdisipliner menganalisis berbagai aspek
gejala hukum secara tersendiri dan dalam kaitan dengan keseluruhannya yang
bertujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan penjelasan yang lebih jernih
atas bahan-bahan yuridis terberi. Pokok telaah teori hukum ini mencakup:
a.
Analisis tentang pengertian
hukum berikut hubungannya dengan struktur sistem hukum dan norma hukum, asas
hukum dan fungsinya, serta interelasi konsep-konsep yuridis;
b. Ajaran metode hukum yang
mencakup teori argumentasi yuridis, metode dari ilmu hukum dan metode penerapan
hukum;
c.
Ajaran epistemologi hukum yang
mempersoalkan keilmiahan dari ilmu hukum; dan
d.
Kritik ideologi yang mencakup
kritik terhadap norma hukum positif dan dan menganalisis norma hukum untuk
mengungkapkan kepentingan dari ideologi yang melatarbelakanginya.
Tradisi penulisan
karya-karya berkriteria kajian teori hukum sangat dipengaruhi oleh corak
keluarga sistem civil law, yang
sebenarnya sudah mulai ditinggalkan di negara-negara Eropa Kontinental. Secara
tradisional, kajian-kajian teori hukum lebih diarahkan kepada produk hukum
berbentuk peraturan perundang-undangan daripada putusan-putusan pengadilan.
Kalaupun ada putusan pengadilan yang diangkat, biasanya berupa “landmark decisions” sebelum Indonesia
merdeka, bukan putusan yang berasal dari lembaga peradilan di Indonesia
sendiri. Sinyalemen tersebut dapat diamati dari karya-karya ahli hukum, seperti
Soediman Kartohadiprodjo (Pengantar Tata Hukum Indonesia, 1956), A. Utrecht
(Pengantar dalam Hukum Indonesia), dan Kusumadi Pudjosewojo (Pedoman Pelajaran
Tata Hukum Indonesia, 1961).
2. Teori Hukum Pembangunan
Harus diakui bahwa
cukup sulit mengungkapkan model penalaran hukum apa saja yang telah
mempengaruhi sistem hukum nasional Indonesia. Jawabannya tergantung pada
parameter yang digunakan. Jika hanya mengacu pada rumusan konstitusi UUD 1945,
maka jawabannya mengarah ke semua model penalaran yang telah dijabarkan di atas
yang diperkuat dengan konfigurasi nilai-nilai dalam kebudayaan Indonesia.
Dilihat dari perjalanan kebudayaannya, penduduk
Indonesia telah sangat terbiasa dalam pluralisme di berbagai bidang kehidupan.
Sebelum bangsa Eropa menguasai beberapa jalur perdagangan, hukum adat yang
mendapat pengaruh dari hukum agama dirasa cukup mengatur hubungan tersebut.
Akan tetapi, setelah adanya ekspansi pedagang Eropa berusaha mendikte model
penalaran hukum yang berlaku di Indonesia sehingga hukum adat mulai terdesak.
Gagasan penggunaan
model penalaran Mazhab Sejarah dengan menghidupkan hukum adat tidak selalu
berkorelasi positif dengan rasa simpati ke arah gerakan kemerdekaan Indonesia,
yang tentu berujung kepada pembentukan sistem hukum nasional Indonesia. Menurut
Soetandyo Wignjosoebroto, pada awalnya para pemuka nasional mencoba membangun hukum
Indonesia dengan sedapat mungkin melepaskan diri dari ide-ide hukum kolonial,
akan tetapi realisasinya tidak sesederhana itu. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa model penalaran Mazhab Sejarah harus diubah kembali dengan
melakukan supremasi hukum melalui unifikasi dan kodifikasi hukum kolonial yang
mengindikasikan model penalaran Positivisme Hukum, sebagaimana diberlakukannya
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
Mazhab Sejarah tentunya masih tetap eksis dengan
munculnya kesadaran dalam ketentuan normatif, yaitu Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, di mana hakim dan memahami nilai-nilai hidup yang berkembang di
masyarakat. Namun lagi-lagi hal ini menimbulkan sikap ambivalen terhadap model penalaran
yang akan dipilih dalam rangka pembangunan sistem hukum Indonesia. Salah
seorang dari sedikit ahli hukum yang pernah menyinggung tentang permasalahan
ini adalah Mochtar Kusumaatmadja dengan pemikirannya yaitu Teori Hukum
Pembangunan. Teori ini menggunakan pendekatan normatif-sosiologis yang sangat
dipengaruhi oleh cara berpikir Harold D.
Lasswell dan Myres S. McDougal (Policy-Oriented
Approach) serta F.S>C. Northrop (Culture-Oriented
Approach) ditambah dengan teori dari Roscoe Pound (minus konsepsi
mekanisnya) yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia.
Mochtar menyadari
bahwa pengaruh Positivisme Hukum sangat kuat mengakar dalam pola pikir
fungsionaris hukum di Indonesia. Oleh karena itu, peran pembentukan hukum
menjadi tumpuan utama, sayangnya penciptaan hukum yang sering disebut dengan
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tersebut tidak cukup sukses. Mochtar
secara cemerlang juga mengubah pengertian hukum sebagai alat (tool) menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk membangun masyarakat. Pokok
pikiran tersebut dilandasi bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha
pembangunan dan pembaruan memang mutlak perlu dan hukum dalam arti norma
diharapkan dapat mengarahkan kehifupan manusia ke arah yang dikehendaki oleh
pembangunan dan pembaruan itu. Untuk itu, diperlukan sarana berupa peraturan
hukum tertulis dan hukum tidak tertulis yang sesuai dengan nilai kehidupan di
masyarakat.
Lebih jauh, Mochtar berpendapat
bahwa pengertian hukum sebagai sarana lebih luas daripada pengertian hukum
sebagai alat, karena:
a.
Di Indonesia peranan
perundang-undangan dalam proses pembaruan hukum lebih menonjol, misalnya jika
dibandingkan dengan Amerika Serikat yang menempatkan yurisprudensi (khususnya
putusanthe Supreme Court) pada tempat
lebih penting;
b. Konsep hukum sebagai “alat”
akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan penerapan “legisme”
sebagaimana pernah diadakan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada
sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep
seperti itu;
c. Apabila “hukum” di sini
termasuk juga hukum internasional, maka konsep hukum sebagai sarana pembaruan
masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini diterima secara resmi
sebagai landasan kebijakan hukum nasional.
Namun dalam potret
riil, penerapan hukum di Indonesia tidak selamanya sejalan dengan model
penalaran Teori Hukum Pembangunan. Hal ini dikarenakan pengembanan hukum
teoretis tidak berjalan memadai untuk mendukung kegiatan pengembanan hukum
praktis. Sementara itu, para pengemban hukum praktis pun terlalu kuat
terkooptasi dalam sistem politik. Sehingga timbul kesenjangan antara law in the books dan law in action. Akhirnya yang berlangsung
adalah praktik pragmatisme sempit dari penggunaan model penalaran Positivisme
Hukum. Dan Positivisme Hukum yang dipadupadankan dengan Utilitarianisme-lah
yang kemudian mengemuka di lapangan praktik hukum di Indonesia. Positivisme
Hukum mengutamakan kepastian hukum, dan kepastian hukum ini benar-benar
diupayakan apabila undang-undang yang ada memang menguntungkan pemerintah.
Sebaliknya, jika kemanfaatan dirasakan lebih banyak diraih jika ketentuan
undang-undang itu dapat disimpangi, maka argumentasi model penalaran
Utilitarianisme-lah yang dikedepankan. Argumentasi ini akan memberikan
pembenaran terhadap setiap tindakan pemerintah dengan dalih “demi revolusi”
atau “demi pembangunan”.
REFERENSI BUKU:
Shidarta, Hukum
Penalaran dan Penalaran Hukum: Akar Filosofis, Cet. 1, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2013.
Komentar
Posting Komentar